"Apa ini juga termasuk dalam permainan anda?" tanya Fatih sambil memicingkan mata dengan penuh curiga.

"Iya," jawab Alan dengan terang-terangan. "Bila anda tidak menyebutkan pilihan, berarti anda memilih pilihan ketiga."

Alan turun dari meja bar. Ia sempat merapihkan pakaiannya yang kotor terkena debu di atas sana. Selepas itu, kedua matanya kembali tidak lepas dari Fatih. Langkahnya yang perlahan mendekat membuat Fatih bergerak memutar agar jarak mereka tetap terus berada dalam jangkauan yang jauh.

"Menghancurkan Aluna?" kata Fatih dengan sudut mata yang berkerut, mengingat-ingat ketiga pilihan yang Alan berikan tadi.

"Pintar. Sebagaimana seharusnya seorang kapten pilot." Alan malah memuji Fatih. Ia yang sudah enggan untuk berputar-putar karena Fatih yang terus bergerak menjauh membuat Alan memilih duduk di atas kursi lebih dulu.

"Saya tidak setuju. Saya tidak mungkin menghancurkan Aluna," ungkap Fatih. Ia tengah berusaha untuk menuju meja bar yang mungkin mempunyai benda-benda untuk dijadikan pertahanan dari serangan Alan.

Sudut bibir Alan terangkat. Ia lalu berkata, "padahal pilihan ini sangat menarik dan menguntungkan, Capt."

"Bagaimana bisa menghancurkan Aluna adalah pilihan menguntungkan?" Rahang Fatih mengeras. Ia sama sekali tidak mempercayai Alan. "Menguntungkan untuk anda, begitu?"

"Tentu saja itu tidak salah. Karena semua permainan ini diciptakan oleh saya," ujar Alan. Ia membuka tutup minuman keras yang dipegangnya lalu meminumnya sedikit. Hal itu tentu mengejutkan untuk Fatih. Selepas meneguk minuman itu, Alan bicara lagi, "menghancurkan Aluna pun ada opsinya."

"Anda benar-benar keterlaluan." Fatih yang tersulut emosi dengan gegabah menghampiri Alan dengan tangan kosong. Ia mengarahkan tendangan kakinya pada kepala Alan namun dengan cepat langsung digagalkan oleh botol minuman yang Alan pegang untuk menepis kaki Fatih.

Alan mengambil alih serangan dengan menggenggam kaki Fatih kemudian memutarnya bersamaan dengan tubuh Fatih yang dibantingnya ke lantai dengan cepat.

"Gegabah. Itu satu-satunya sikap menonjol dari anda yang saya lihat, Capt. Saya tidak habis pikir, bagaimana bisa orang seperti anda menjadi pilot?" Alan berbicara lagi. Sudut mulutnya muncul. Ia lalu menambahkan, "ah, iya. Ada yang bilang, dalam keadaan mendesak semua orang bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah ia lakukan. Benar kan, Capt?"

Fatih meringis. Ia mencoba bangkit namun terjatuh kembali. Selain kakinya yang terasa sakit, kepalanya pun terasa nyeri karena terbentur berkali-kali.

"Pilihan untuk menghancurkan Aluna ada dua," kata Alan. "Pertama, kita saling membunuh agar Aluna kecewa pada anda yang katanya sangat baik hati. Lalu yang kedua ...." Alan mendekat pada Fatih. Ia berjongkok di depannya kemudian mengangkat botol tadi tinggi-tinggi.

"Arrrghhh!"

Alan memukulkan botol itu pada kepala Fatih hingga Fatih langsung tergeletak dilantai sambil memegangi kepalanya yang berlumuran darah bercampur dengan minuman keras yang masih bersisa hingga membasahi wajahnya. Dengan santainya mulut Alan melengkung membentuk senyuman dan berkata," tranplantasi wajah."

"Agar Aluna bisa melihat wajah saya setiap hari dalam diri anda. Bagaimana?" tanya Alan, lagi.

Kesadaran Fatih hampir hilang. Namun ia berusaha sekuat tenaga agar tidak kehilangannya. Ia terus mengerang kesakitan di atas lantai yang kini memerah sebab terkena darahnya hingga tidak bisa memberikan jawaban pada Alan.

Seperti tidak mempunyai rasa kasihan, Alan kembali berjalan menuju bar. Ia meloncat melewati mejanya kemudian mengambil botol minuman keras lagi.

Fatih yang sempat melihat itu menjadi semakin panik. Kepalanya pun sudah seperti ditimpa batu besar hingga terasa berat bahkan untuk sekedar diangkat. Kelopak matanya terkulai, tidak bertenaga. Merasa tidak mempunyai pilihan lain untuk melakukan perlawanan, Fatih meraih pistol di belakang kemejanya. Tangannya bergerak dengan cepat mencari pelatuk pistol. Sambil berbaring, Fatih menodongkan senjata apinya pada Alan sebagai ancaman agar lelaki itu tidak lagi mendekat.

Alan duduk di atas bar sambil memainkan botolnya. Ia sama sekali tidak terlihat takut pada ancaman yang Fatih tujukan untuknya.

"Anda tahu apa itu putus asa, Capt?" Sempat-sempatnya Alan mengajak Fatih yang setengah sadar untuk berbincang. "Apa saya yang telah kehilangan kedua orang tua sebagai satu-satunya keluarga yang saya punya kemudian jatuh cinta pada Aluna dan kehilangan perempuan itu juga lalu akhirnya berbuat nekat seperti ini disebut putus asa?"

"Hidup saya benar-benar tidak berarti lagi dan tidak mempunyai alasan. Tidak ada alasan lagi untuk saya hidup dan mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Semuanya sia-sia. Uang-uang itu nampak seperti kertas tidak berguna untuk saya karena tidak ada satupun orang yang mampu saya bahagiakan dengannya," kata Alan.

Suara tawa kencang kembali terdengar. Ia membuka botol minuman di tangannya kemudian meneguknya dalam jumlah yang lebih banyak lagi meskipun masih menyisakan setengahnya. "Saya benar-benar hidup dengan kesepian. Orang bilang, hidup saya bahagia. Tidak masalah sendirian asalkan punya uang. Tetapi pada kenyataannya, kesendirian itu sangat menyeramkan dan menyedihkan bagi siapapun."

"Bahkan termasuk Aluna ...." Alan menghela napas panjang. "Saya menemaninya sejak anda pergi, Capt. Tetapi sewaktu anda kembali, dengan mudahnya anda mendapatkan seluruh hatinya."

Tangan Fatih perlahan-lahan turun. Semakin lama, pandangannya semakin buram seiring dengan Alan yang turun dari atas bar.

"Bila hidup tidak mampu sejalan dengan apa yang saya mau, maka saya akan membuat versi kehidupan dengan jalan saya sendiri," cetus Alan. Ia semakin lama semakin mendekat pada Fatih sambil memutar-mutar botol minuman di tangannya.

Dor!

Sebuah peluru akhirnya sampai pada Alan sewaktu ia berjarak tiga langkah dari Fatih sambil mengangkat botolnya tinggi-tinggi. Tepat setelah itu, botol di tangan Alan jatuh ke lantai. Disusul oleh tubuh Alan yang ambruk ke lantai.

Meskipun begitu, Alan masih mampu berdiri. Ia bergerak sekuat tenaga untuk mendekati Fatih setelah meraih botolnya lagi.

Dor!

Sekali lagi Alan terjatuh. Peluru yang ditembakkan padanya pertama sampai pada kakinya kemudian sampai pada dadanya. Kedua mata Alan hampir memejam.

"Anda tidak bisa hidup seperti itu lagi, Capt. Tepati janji anda, lakukan pilihan ketiga, transplantasi wajah. Saya akan menyelamatkan hidup anda." Alan berbicara sebelum kehilangan kesadarannya.

Lalu seperti memperhatikan sejak tadi, tiba-tiba datang orang berbondong-bondong dengan baju berwarna serba hitam memasuki bar Lanza. Bersamaan dengan itu, kesadaran Fatih hilang sepenuhnya.

***

Selamat hari raya idul adha^^

Double update gak ya? Hm...

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONEWhere stories live. Discover now