"Nanti sudah dingin, Nona. Apa tidak masalah?" Bi Nah bertanya sekali lagi sebelum benar-benar menyingkirkan piring tersebut dari hadapan Aluna.

"Apa Mang Udin sudah sarapan? Lebih baik berikan padanya dulu," jawab Aluna sambil celingak-celinguk mencari Mang Udin.

"Baik, Nona." Seperti biasa, Bi Nah langsung mematuhinya. Ia mengangkat piring berisi nasi goreng itu agar menjauhi Aluna.

"Apa Nona sakit?" Pertanyaan itu terlontar dari mulut Bi Nah ketika ia melihat wajah Aluna yang pucat pasi. Juga sorot mata redup yang terlihat seperti kelelahan padahal ia baru turun ke lantai satu untuk sarapan jam sembilan pagi.

"Cuma pusing sih, Bi." Aluna menjawab selepas meneguk susunya sedikit. Ia turun dari kursi kemudian melanjutkan ucapannya, "saya tidak nafsu makan, Bi. Sejak bangun tadi mual. Saya mau balik ke kamar. Nanti kalau lapar saya turun lagi."

Aluna lantas berbalik, kembali meniti tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua dengan mengikutsertakan gelas berisi susu di tangannya.

Selepas kepergian Aluna, Bi Nah menghela napasnya. Ia merapihkan dapur sebentar sebelum akhirnya bersiap-siap untuk segera berbelanja. Membeli kebutuhan dapur termasuk sereal kesukaan Aluna, juga roti gandum untuk mengisi perut Aluna bila sewaktu-waktu ia tidak nafsu makan lagi seperti hari ini.

***

Kala mentari perlahan-lahan menuruni langit hingga sosoknya tenggelam digantikan oleh bulan yang nampak bersama bintang, Fatih tiba di rumahnya. Bukannya langsung menuju kamarnya, Fatih memilih ke dapur lebih dulu. Menuangkan air minum ke dalam gelas lalu meneguknya dengan pelan dalam posisi duduk.

"Mas Fatih baru sampai?"

Fatih menolehkan kepalanya ke belakang dan menemukan Bi Nah yang berjalan mendekatinya sambil membawa gelas kosong di tangannya kemudian menuju wastafel untuk mencucinya.

"Iya, Bi," jawab Fatih. Matanya menelusuri lemari dapur yang terlihat penuh karena masih terbuka lebar namun menyisakan beberapa barang di depannya yang sepertinya belum sepenuhnya dirapihkan oleh Bi Nah. "Bibi baru habis belanja?"

"Iya, Mas. Saya baru sampai. Pulang telat soalnya ada beberapa kebutuhan yang kosong di tempat biasa saya belanja." Bi Nah buru-buru merapihkan beberapa barang dan bahan makanan yang akan mengisi stok di dapur.

"Bibi bisa rapihkan itu besok. Ini sudah malam," kata Fatih sambil masuk ke bagian dalam dapur untuk mengisi gelasnya lagi yang telah kosong.

"Baik, Mas." Dengan patuh Bi Nah menjawab. Juga kelegaan yang memenuhi hatinya karena bisa istirahat setelah ini. "Apa Mas Fatih mau saya buatkan teh atau kopi?"

Fatih melirik Bi Nah sebentar sebelum meneguk lagi air yang mengisi gelasnya. Selepas itu, Fatih mencuci gelas dan menjawab, "tidak perlu. Saya hanya haus dan akan segera tidur setelah ini.

"Aluna sudah tidur, kan, Bi?" Fatih memastikan lebih dulu. Ia mendongak untuk melihat jam dinding di dapur yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

"Sudah, Mas." Bi Nah menjawab dengan menyertakan anggukan kepalanya. Inginnya ia langsung berpamitan tetapi mengingat ada sesuatu yang ingin disampaikan, Bi Nah bicara lagi, "bolehkah saya bicara dengan Mas Fatih dulu? Ada yang harus saya katakan tentang Nona Aluna."

Sembari mengelap tangannya yang basah, Fatih menjawab dengan senyuman di wajahnya, "tentu saja boleh. Apapun mengenai Aluna, saya akan mendengarkannya."

Bi Nah ikut tersenyum. Sekalipun Fatih ataupun dirinya sendiri yang merasa kelelahan hari ini, sepertinya bila menyangkut satu nama yang sama, keduanya akan sama-sama bersedia mengikis waktu istirahat mereka.

"Kondisi Aluna baik-baik saja, kan, Bi, akhir-akhir ini?" Fatih mengantisipasi lebih dulu sambil duduk lagi di kursi sebelumnya. Dalam hatinya, ia berharap senyuman di wajah Bi Nah tidak sirna yang akan menandakan bahwa hal baik yang Bi Nah bawa. Tetapi sewaktu melihat senyuman perlahan-lahan menghilang dari wajah Bi Nah juga sedikit kerutan di dahinya, Fatih langsung tahu bahwa yang akan ia dengar bukanlah kabar yang baik.

"Tadi pagi Nona mengeluh sakit. Saya menjadi cemas. Sepertinya banyak hal yang Nona Aluna khawatirkan," ungkap Bi Nah.

"Apa yang membuat Aluna khawatir? Apa kepribadian ganda yang dimilikinya sering muncul lagi?" Fatih bertanya dengan tidak sabaran, menodong dengan banyak pertanyaan.

"Tidak, bukan begitu." Bi Nah menyanggah. Ia kemudian balik bertanya, "bagaimana perasaan Mas Fatih setelah kembali bertemu Nona Aluna?"

"Tentu saja sangat senang. Apa itu perlu ditanyakan lagi?" Fatih merasa sedikit kesal karena pembicaraan yang seakan-akan dibawa memutar.

Bi Nah mengambil napas dalam-dalam. Sebagaimana Aluna selaku istri Fatih yang tidak mampu membahas hal mengenai kepulangan Fatih karena takut menyinggungnya, begitu pula Bi Nah. Ia takut dianggap lancang karena bertanya-tanya pada Fatih. Oleh sebab itu, Bi Nah mencari cara agar pembicaraan terkesan natural tanpa dipaksakan.

"Begitu pula Nona Aluna. Nona sepertinya juga senang sampai-sampai takut merusak kebahagiaan antara Mas Fatih dengannya." Lagi-lagi Bi Nah terkesan mengatakan hal yang sudah jelas Fatih ketahui dan mencampuradukkan dengan hal yang tidak Fatih pahami.

"Maksud Bibi?"

"Sepertinya masih banyak yang Nona khawatirkan. Banyak hal yang ingin Nona Aluna tanyakan tapi tidak mampu ditanyakan karena takut merusak kebahagiaan Mas Fatih." Bi Nah akhirnya mengatakan hal sebenarnya. "Siapapun akan bingung bila berada dalam posisi Nona Aluna. Saya rasa, Mas Fatih harus menjelaskan semuanya tanpa menyembunyikan apapun lagi. Apalagi Mas Fatih terus-menerus seperti menghindari percakapan bila mengarah pada hal yang sensitif bagi Mas Fatih."

"Sejak awal, pulangnya Mas Fatih sekalipun dengan rupa yang berbeda hanya membuat saya berharap satu hal. Semoga Nona Aluna tidak lagi terlihat kesepian dan gelisah. Tetapi berkali-kali, saya masih menemukan Nona yang seperti itu saat ini. Coba sesekali Mas Fatih ajak Nona bicara. Karena tanpa Mas Fatih sadar, itu juga mempengaruhi kesehatan Nona Aluna."

Ucapan Bi Nah menjadi tamparan keras untuk Fatih. Ia yang selama tiga bulan terakhir terus sibuk mencari pekerjaan agar tidak menjadi parasit untuk Aluna yang tahunya hanya menumpang, dibuat terkejut dengan pembicaraan malam ini. Fatih kira, saat dirinya nanti mendapatkan pekerjaan yang layak sekalipun tidak seperti dulu, ia akan menjadi kepala keluarga yang sebenarnya dan kembali menjadi seseorang yang berperan utama sebagai pencari nafkah.

Tetapi malam ini, selepas mendengar semuanya dari Bi Nah membuat Fatih menyadari bahwa Aluna tidak mempermasalahkan hal itu. Aluna justru lebih khawatir bila Fatih ternyata masih menyembunyikan banyak hal darinya termasuk soal peristiwa besar yang menyebabkan jarak jauh dan lama pada hubungannya dengan Fatih.

Lima tahun menikah, tiga bulan kembali, tetapi Fatih masih bersikap seolah tidak tahu apa-apa dan berusaha bahwa segalanya baik-baik saja. Karena di kepala Fatih, ia merasa hal itu lebih baik agar Aluna tidak banyak pikiran. Namun ternyata, itu pun tidak baik untuk Aluna.

Kala Fatih telah berbaring di samping Aluna, meniti wajah istrinya yang terlelap dalam tidurnya, Fatih merasa bersalah. Ia mengelus kepala Aluna dengan lembut, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah Aluna, lalu mengecup keningnya cukup lama. Sebelum akhirnya, Fatih ikut memejamkan matanya di sebelah Aluna.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONEWhere stories live. Discover now