"Fatih," ungkap Alan. Ia menyeringai lebar, "seperti film, bukan? Pahlawan yang datang kemalaman."

"Basi," ujar Aluna, tidak tertarik sama sekali dengan candaan Alan. Ia bergerak mendekati Alan lalu mengikuti langkah lelaki itu menuju lantai satu Lanza, asal keramaian itu terdengar.

"Dia sangat handal, bukan?"

Siapapun akan terkejut bila melihat seseorang yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya berkelahi —tidak peduli apapun alasannya. Rasa khawatir, cemas, kecewa, juga takut menyatu padu di hati Aluna kala melihat Fatih melawan satu-persatu penjaga keamanan Lanza. Bagaimana caranya memukul dan membuat lawannya terjatuh mampu membuat sendi-sendi Aluna melemas.

"Kamu tunggu sini," ucap Alan selepas Fatih menjatuhkan seluruh lawannya.

"Kenapa?" Sangat mengherankan Alan berbicara seperti itu saat ini, kala Aluna ingin segera menghampiri Fatih dan menanyakan apakah lelaki itu baik-baik saja."

"Kamu harus melihat, seberapa menakutkannya suamimu. Dia tidak sebaik yang kamu pikir." Alan seolah ingin memutarbalikkan cara Aluna melihat kejadian saat ini. "Lihat benda di belakang punggungnya yang terjepit celana dan badannya."

Aluna kembali mengarahkan pandangannya pada Fatih. Sesuatu dibelakang punggung lelaki yang perlahan-lahan luruh ke lantai itu, menarik perhatian Aluna.

"Itu pistol, Aluna," ungkap Alan yang kemudian pergi menjauh dari Aluna hingga membuat Aluna membeku di tempat.

***

"Aluna." Lelaki yang kini berdiri dengan kemeja berwarna hitam itu, menyebut nama Aluna dengan pelan.

Aluna bergerak mundur selangkah saking terkejutnya dia. Pupil matanya membesar dengan tenggorokan yang terasa tercekat hingga menyulitkannya untuk berbicara.

"Saya kembali, Aluna," katanya.

Tangan Aluna gemetar. Ia menggenggam gagang pintu semakin erat. Bersamaan dengan air mata yang mengalir di pipinya, ia membalas.

"Alan."

Sewaktu kedua mata Aluna menemukan sosok yang beberapa tahun terakhir tidak terlihat dan menghilang entah kemana itu, ingatan Aluna langsung berputar pada pertemuan terakhir kalinya Aluna dengannya. Ucapan Alan saat itu, sangat menggangu pikiran Aluna hingga saat Fatih hilang, Aluna terus berprasangka buruk pada suaminya.

Bagaimana bila Fatih membunuh Alan?

Bagaimana bila Fatih tengah melarikan diri dari perbuatannya?

Semua pertanyaan itu, menemukan jawabannya hari ini. Saat Aluna kembali di hadapkan pada wajah Alan yang tidak pernah disangka Aluna akan muncul di depannya lagi.

Rasa lega memang sempat menghampiri Aluna karena menganggap bahwa Fatih tidak membunuh Alan seperti pemikiran buruknya. Namun kedatangan Alan hari ini, jelas bukanlah kabar baik yang patut membuat Aluna merasa senang.

Lalu kemana Fatih?

Itulah pertanyaannya.

Tetapi karena terlanjur terkejut, Aluna lantas menutup pintu rumahnya dengan keras di depan muka Alan. Tidak peduli lelaki itu akan sakit hati, namun Aluna tidak bisa menahan dirinya lagi yang ketakutan dan gemetar. Juga kepalanya yang terasa pening sebab memikirkan segala kemungkinan yang mungkin terjadi.

Cukup lama Aluna terdiam sambil memegang erat gagang pintu utama rumahnya agar tidak bisa dibuka dari luar sana. Jantungnya berdetak kencang, bukan main. Rasanya seperti akan loncat keluar saking paniknya Aluna saat ini. Mungkin sekitar dua menit Aluna bersusah payah untuk kembali tenang, ia akhirnya kembali membuka pintu rumahnya. Berharap bisa segera berbincang tenang dengan Alan termasuk menanyakan soal Fatih.

Kosong.

Kala Aluna membuka pintu rumahnya lagi, ia tidak menemukan sosok Alan. Bahkan Aluna sampai membuka kedua daun pintu rumahnya lebar-lebar, berjinjit sambil menelusuri halaman rumahnya dengan kedua matanya, Aluna tidak juga menemukan kehadiran Alan yang menghilang sangat cepat.

"Nona?"

Aluna terlonjak kaget, hampir saja tubuhnya yang tengah berjinjit terjatuh ke depan bila Bi Nah tidak segera menahan lengan Aluna. Ia memegangi dadanya hingga mampu membuat Aluna merasakan detak jantungnya yang berdetak abnormal. Ia lalu berucap, "Bibi. Saya pikir siapa."

"Ada apa, Nona Aluna? Siapa yang datang? Saya sudah menaruh teh di perpustakaan Nona dan bersiap untuk mencari Mang Udin karena ingin belanja. Ternyata Nona masih ada di sini." Bibi menuturkan. Ia ikut celingak-celinguk ke halaman rumah untuk mencari sesuatu yang membuat Aluna sampai berdiri di luar rumah.

"Tidak ada, Bi. Saya salah lihat," jawab Aluna sembari memaksakan senyumnya. Ia lalu berkata, "bukan Papa yang datang ternyata, Bi. Nanti suruh Mang Udin untuk mengirimkan jas Papa melalui kurir saja supaya Mang Udin tidak perlu repot-repot ke ibukota."

"Baik, Nona." Bi Nah menyahut dengan patuh. Mengingat ada pertanyaan yang belum terjawab, ia bertanya lagi, "kalau bukan Tuan Rudi, lalu siapa yang datang, Nona?"

"Kurir. Salah alamat." Aluna menjawab asal sebelum sosoknya menghilang dari pandangan Bi Nah, menuju perpustakaan pribadi miliknya.

Padahal Bi Nah tahu bahwa rumah sederhana yang kini ditempati dirinya dengan Aluna, tidak mempunyai tetangga dekat. Bila ada pun, harus berjalan kaki cukup lama untuk sampai ke rumah Aluna yang berada di bagian paling ujung daerah tersebut. Meskipun begitu, Bi Nah tidak bertanya lagi. Membiarkan tanda tanya di kepalanya tidak mendapatkan jawaban.

***

If you read this and like it, let me know you've been a part of this story by voting it.

© 2019
Revisi 2021

I'M ALONEWhere stories live. Discover now