Matanya terbelalak kaget diikuti dengan gebrakan pintu gudang.

Brak!

Pintu gudang ditutup dengan keras. Mereka berdua langsung berlari cepat, dan mencoba membuka pintu gudang tersebut.

Arrgh!

Teriakan kesakitan terdengar dari dalam gudang. Mereka semakin gencar membuka pintu tersebut, dan setelah sekian lama, akhirnya pintu berhasil dibuka.

Mata mereka membesar dengan sempurna. Mereka terlambat. Di sana mayat Leo sudah tergeletak tak berdaya dengan lumuran darah.

Daniel terjatuh ke lantai. Rencana mereka kembali gagal, dan memakan korban.

"Nath, kita mau gimana? Mayatnya kita apa'in?" Nathan menggeleng lemah. Matanya menatap Daniel yang tengah menggenggam sebuah ponsel. "Itu ponsel siapa?"

Tatapan Daniel beralih pada tangannya. "Kita ditipu. Ternyata suara teriakan yang tadi tuh dari rekaman suara yang diputar di ponsel ini." Nathan menunduk lemas ketika mendengar penuturan Daniel.

Gagal lagi! Gagal lagi!

"Jadi ... nih mayat mau kita apa'in?"

Daniel menggeleng. "Gak mungkin kita ngelapor. Yang ada kita dicurigai. Dibiarin di sini pun ... juga gak boleh. Kita yang bawa dia menuju maut."

Keduanya sama-sama tertunduk lemas. Rasa bersalah, kesal, dan amarah menyatu dalam diri mereka.

"Mau gua bantu?" Mereka terlonjak kaget. Kepala mereka menoleh ke belakang, dan kekagetan mereke bertambah pesat.

Nathan dan Daniel tak menyangka jika di sini ada Vena. Emosi Daniel tiba-tiba memuncak. Ia menghampiri Vena, lalu menarik kerah gadis itu.

"Lo mau apa hah?! Lo 'kan yang bunuh si Leo? Lo 'kan pembunuh itu!! Ngaku brengsek!" Vena tak gentar sama sekali. Ia hanya memasang raut tenang andalannya.

"Jawab gua sialan! Lo pembunuh itu, 'kan?!" Nathan segera menghampiri Daniel, lalu menenangkannya.

"Gimana lo bisa tahu kalau kita di sini?" tanya Nathan dengan tatapan tenang. Hanya Nathan yang bisa mengontrol emosinya di sini.

Vena menyilangkah kedua tangannya. "Gua ... ngikutin kalian. Tampak mencurigakan, eh ternyata ini yang dilakukan." Tatapannya beralih pada Daniel. Laki-laki itu tengah mencoba menahan emosi.

"Gua bisa bantu kalian keluar dari masalah ini. Mau ngasih kepercayaan ke gua?" tanya Vena sambil menatap keduanya bergantian. Nathan tampak berpikir, sementara Daniel langsung menggeleng.

"Gak usah sok baik lo!!" bentaknya dengan tangan yang setia menunjuk wajah Vena.

Nathan tampak maju selangkah. "Lo gak punya niat aneh, 'kan?" tanyanya. Wajar Nathan bertanya seperti itu. Dia juga tak boleh gegabah dalam mempercayai seseorang.

"Big no! Gua cuma mau bantu. Boleh?" Nathan menatap Daniel yang memalingkan wajahnya. "Oke."

Mata Daniel membesar. "Lo apa'an, Nath? Gi-"

Nathan menepuk pundak Daniel berkali-kali. Mencoba meyakinkan temannya kalau semua akan baik-baik saja.

Vena mengeluarkan laptopnya. Entah darimana dapatnya, tapi Nathan dan Daniel tak peduli.

"Lo mau ngapain?" tanya Nathan. Ia menatap layar benda tersebut dengan alis yang menyatu. Di sana ada gambar Pak Etan yang tengah berjalan santai. Entah kemana tujuannya.

Vena tiba-tiba bersuara. "Datang ke gudang tua di belakang asrama. Secepatnya!" Tampak di layar Pak Etan tengah berjalan cepat menuju asrama atau lebih tepatnya gedung tua yang mereka tempati.

"Saat sampai langsung masuk ke dalam gedung. Jangan lupa bawa teman!" Setelah itu ia menatap Nathan dan Daniel.

"Itu lo ngomong sama Pak Etan?" Vena mengangguk. "Tuhkan! Gua udah bilang. Dia mau ngejebak kita, Nath!"

Nathan menggeleng mendengar ucapan temannya. "Ini maksudnya gimana?" tanya Nathan.

Vena menatap layar laptopnya sambil berucap. "Pak Etan sedang dalam kondisi tak sadar, dengan kata lain alam bawah sadarnya tengah menguasai tubuhnya." Ia menjeda ucapannya lalu menatap Daniel yang tampak tak percaya.

"Sekarang kita pergi dari sini sebelum ketahuan!" Vena langsung membereskan laptopnya.

"Apa lo pikir gua percaya?" tanya Daniel sarkas. Vena hanya menggedikkan bahunya. "Terserah lo mau percaya atau enggak percaya sama gua." Setelah mengucapkan itu ia langsung pergi.

"Dan, kita pergi dulu. Nanti aja kita bicarain." Daniel mengangguk pasrah. Ia mengikuti langkah Nathan dengan wajah tertekuk kesal.

•••••

Tangis Emely-pacar Leo-terdengar memilukan. Siapa yang tidak sedih jika ditinggal oleh orang tersayang? Kalau ditinggal sebentar tentu tak masalah, namun kali ini ia ditinggal selamanya.

Di hadapan Emely sudah ada mayat Leo dalam bentuk yang mengerikan. Hampir seluruh wajahnya hancur, darahpun turut mewarnai hancurnya wajah tersebut.

Daniel dan Nathan hanya memandangi dari kejauhan. Mereka merasa sangat bersalah. Bisa-bisanya mereka melakukan semua ini tanpa pikir panjang.

Vena menghampiri mereka dengan santai. Tangannya menyilang di depan dada dengan tatapan yang mengarah pada Emely. "Ketika logika dikalahkan oleh ambisi." Daniel dan Nathan langsung meneloh pada Vena.

Tak ada sahutan. Sepertinya Daniel sedang tak ingin bertengkar. "Ambisi kalian membuat diri kalian sendiri hancur. Jadikan semuanya pelajaran. Kalau hidup bukan hanya tentang keinginan, tapi juga tentang pengertian."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia menghilang entah kemana. "Dia siapa? Suka-sukanya nasehatin gua. Kesel gua lihat tuh cewek."

Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala. Ia sudah maklum dengan sifat Daniel.

"ARRGHH! BANGUN LEO!!" Teriakan Emily membuat mereka berdua terlonjak kaget. Kerasnya gak main-main teman.

"Kita harus gimana?" tanya Daniel dengan tatapan yang tertuju pada mayat Leo. "Kita ngakuin diri aja?" lanjutnya.

Dengan cepat Nathan menggeleng. "Gila lo?"

Helaan napas terdengar dari keduanya. Mereka sama-sama meminta maaf dari hati yang terdalam.

 Mereka sama-sama meminta maaf dari hati yang terdalam

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rencana mereka gagal. Kasihan ya.

Jangan lupa vomentnya donk!

📓Makasih📓

-20 Juni 2021-

Second Chance: Last Mission (End)Where stories live. Discover now