33. 5 MENIT

31.5K 3.1K 697
                                    

Tangannya terus memegang, hingga meremas ulu hati yang mendadak nyeri. Pandangannya tiba-tiba mengabur.

Dia menghembuskan nafas, untuk mengurangi rasa nyeri di ulu hatinya. "Aku kira udah sembuh, ternyata masih sama."

Diraihnya ponsel yang tergeletak di nakas. Dia membuka galeri, melihat-lihat beberapa foto dirinya dengan Arsen. Jika boleh jujur, dirinya sangat merindukan laki-laki difoto ini. Meski tadi harus mendengar kenyataan pahit dari mulut cowok yang dia cintai. Apalagi saat mendengar nama ceweknya, terdengar sangat tidak asing ditelinganya.

"Zera?" Dia terus mengulang-ngulang nama itu. Nama yang pernah dia dengar dari mulut seseorang, yang kini telah pergi tanpa ada kejelasan.

Dia tersenyum kecil. "Apa Zera yang pernah kamu ceritain?"

Dia melangkahkan kaki keluar dari kamar. Disana, tepatnya di ruang tamu. Kedua orang tuanya nampak sedang bercanda gurau.

"Ma."

Mamanya berbalik saat dia panggil, bahkan sang Ayah juga ikut berbalik dan kini menatap kearahnya.

"Ma, aku mau pulang ke Indonesia."

Lagi-lagi sebuah gelengan yang dia dapat. "Tidak bisa Je. Mama dan Ayah sudah sepakat untuk menetap disini."

"Alasannya apa Ma? Pasti ada sebuah alasan 'kan?" Dia tersenyum miris. Melihat kedua orang tuanya yang menunduk, sudah dipastikan apa yang dirinya bilang benar. Ada sebuah alasan dibalik semua ini, yang tidak dirinya ketahui.

Tiba-tiba saja tangisan Mamanya pecah, jelas membuat dirinya bingung. Sang Ayah mencoba menenangkan, meski hasilnya percuma. "Maafin Mama."

"Maksud Mama?"

"Udah Ma, tenang." Ayah mencoba menenangkan. "Tenang kata Ayah? Harusnya kita gak nyembunyiin ini, Yah."

"Apa yang kalian sembunyiin dari aku?"

Terlihat sang Mama yang berlari ke arah kamar, dan kembali membawa secarik kertas yang digulung. Tangannya terulur mengambil dan perlahan membukanya. Setiap kata yang dibaca berhasil membuat dirinya tercengang tak percaya. Dia membekap mulutnya, tubuhnya melemas seketika.

"Penyesalan?" Dia terkekeh miris menatap kedua orang tuanya dengan raut kecewa.

***

Setelah kemarin acara camping telah selesai. Kini kelas 12 kembali disibukkan oleh tugas yang membuat kepala mereka ingin pecah seketika. Dari mulai rumus, hingga sebuah kalimat yang menjebak, mengenang masa lalu, menghitung apel jatuh dari pohonnya, dan masih banyak lagi.

"Gavriel, kamu dipanggil Pak Tino."

Mendengar ucapan Bu Ayu membuat Gavriel mendongak seketika. Kerutan di dahi menandakan bahwa cowok itu bingung, atas gerangan apa dirinya dipanggil oleh guru olahraganya ini?

"Arsen juga."

Cowok yang tengah sibuk menghitung berbagai macam angka itu terkejut ketika namanya dipanggil.

Meski bingung, namun keduanya tetap berdiri dan pamit pada Bu Ayu untuk keluar kelas menyusul Pak Tino.

"Ngapain kita dipanggil?" tanya Arsen pada Gavriel.

Dibalas tatapan sengit oleh cowok itu. "Apa muka gue keliatan tau isi pikiran Pak Tino?"

Arsen berdecak kesal mendengar balasan Gavriel. Menyebalkan, ditambah raut wajah cowok itu yang mampu membuat orang didekatnya emosi.

"Ya gue kira lo tau. Itu kan pelatih eskul basket lo," celetuk Arsen.

"Pelatih lo juga," balas Gavriel tanpa minat.

GAVRIELZE [Completed]Where stories live. Discover now