Milikku

2K 320 45
                                    


"Apa yang Anda maksud Tuan Oxley?" tanya Rachel berusaha untuk tidak terlihat ketakutan atau bereaksi berlebihan. Ia akan berpura-pura tidak mengenali pria di hadapannya ini.

Benar, pria yang berada di hadapan Rachel saat ini, tak lain adalah William .M. Oxley. Pemilik agensi yang berniat untuk merekrut Rachel. Pria yang sama dengan pria yang menghabiskan malam panas dengan Rachel. Sebelumnya, Rachel tidak bisa mengenalinya lebih cepat karena ia memang tidak terlalu mengingat wajah pria tampan itu. Rachel baru saja bangun dan dalam keadaan hang over!

Selain itu, wajah William .M. Oxley tidak banyak tersebar di internet. Dia adalah pria yang sangat tertutup. Dan bodohnya, Rachel tidak tergerak untuk mencari fotonya terlebih dahulu. Ini memang kesialan yang tidak bisa dihindari oleh Rachel. Kesialan yang membuatnya ingin menangis saat ini juga.

Tingkah Rachel tersebut tentu saja terbaca oleh pria berambut pirang keemasan itu. Pria itu menatap Rachel dalam diam, tetapi ada aura yang membuat Rachel terintimidasi. Tak lama, pria itu pun berkata, "Aku rasa, hubungan kita bisa membuatmu memanggil nama depanku daripada nama keluargaku seperti itu."

Rachel yang terdesak, dan merasa terancam tentu saja berpikiran macam-macam. Saat William akan menarik Rachel ke dalam pelukannya, Rachel dengan sigap menginjak kaki William menggunakan hak sepatu tingginya yang cukup runcing. William yang tidak memprediksi hal tersebut terkejut dan melepaskan Rachel begitu saja. Rachel tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan melarikan diri.

William tidak berniat mengejar kepergian Rachel. Ia malah duduk dan mengamati kepergian Rachel dengan tenang. "Dia benar-benar seperti kucing. Tampak manis, tetapi agresif saat di ranjang. Benar-benar membuat diriku kecanduan," gumam William sembari menyeringai.

Sementara Rachel kini terlihat pontang-panting berlari menuju mobilnya. Rachel bahkan tidak berpikir bersikap anggun agar sesuai dengan tempak dan pakaian yang ia gunakan. Rachel memilih untuk segera mengemudikan mobilnya menuju apartemennya. Tempat yang anggap sebagai tempat paling aman baginya. Sesekali Rachel memastikan jika tidak ada mobil yang mengikutinya.

Untungnya, Rachel bisa sampai dengan selamat di apartemen tanpa diikuti oleh siapa pun. Rachel tanpa banyak kata segera menuju unit apartemennya dan begitu tiba, ia segera mengunci pintu dan jendela. Memastikan jika tidak ada celah yang bisa membuat seseorang memasuki rumahnya. Rachel terlihat duduk termenung dengan pandangan kosong.

"Apakah dunia memang sekecil ini?" tanya Rachel pada dirinya sendiri.

"Argh sial!" jerit Rachel sembari mengacak-acak rambutnya. Merasa frustasi karena ternyata ia kembali bertemu dengan pria yang menghabiskan malam dengannya.

Padahal, Rachel sudah menuliskan surat itu. Jelas-jelas Rachel sudah mengatakan jika dirinya tidak ingin bertemu. Jika pun ada pertemuan yang tidak bisa dihindari, Rachel memintanya untuk berpura-pura tidak mengenalnya. Namun, sejak awal Rachel tahu jika pria itu memang sengaja untuk menemuinya. Apalagi dengan fakta, bahwa ia sendiri yang menghubungi Orland untuk merekrut Rachel sebagai salah satu talent untuk agensinya.

"Sebenarnya apa yang ia inginkan?" tanya Rachel terlihat gelisah.

Sebelumnya, Rachel yakin jika dirinya melihat bahwa pria itu marah padanya. Namun, Rachel tidak berpikir jika dirinya memiliki kesalahan yang tidak termaafkan, hingga dirinya bisa semarah itu padanya. Rachel sadar jika malam itu terjadi karena kesalahan. Karena itulah, Rachel menuliskan surat itu dan tidak meminta pertanggungjawaban apa pun padanya. "Lalu kenapa dia marah padaku?" tanya Rachel lagi.

Rachel pada akhirnya menyerah dengan pertanyaan itu. Setelah merasa agak tenang, ia pun memilih untuk beranjak menuju kamarnya. Rachel membersihkan diri dan berganti pakaian. Setelah itu ia beranjak ke dapur dan mengambil air minum untuk persediaan di dalam kamar. Begitu kembali ke kamar, Rachel mengeluarkan sebuah tabung obat kecil dari laci.

Ia mengambil sebuah pil dan meminumnya dengan bantuan air yang sebelumnya ia bawa. Pil tersebut tak lain adalah obat tidur. Sudah sejak usia sembilan belas tahun, atau tepatnya empat tahun dirinya mengonsumsi obat ini. Kini, Rachel tidak bisa tidur tanpanya. Apalagi saat dirinya stress parah seperti ini.

Setelah minum, Rachel beranjak mematikan lampu dan kembali ke kamarnya untuk istirahat. Rachel selalu tidur dengan lampu kamar yang mati. Hal itu membuatnya bisa mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik. Meskipun membuat suasana semakin terasa sepi, tetapi Rachel merasa nyaman. Mungkin hal itu terjadi karena Rachel sudah terbiasa sendiri. Sejak kecil.

Rachel mulai menghitung domba, dan menunggu pengaruh obat tidur berpengaruh padanya. Tak membutuhkan waktu lama hingga Rachel benar-benar tidur. Napas Rachel mulai teratur, dan ia sudah tenggelam dalam alam bawah sadarnya. Ia tertidur dengan lelap. Saking lelapnya, ia tidak sadar bahwa ada seseorang yang menekan sandi pintu apartemennya dengan lancar dan masuk ke dalamnya.

Padahal, tidak ada yang tahu password apartemen Rachel selain Rachel sendiri. Jika saat ini Rachel tengah terjaga, ia pasti akan panik bukan main. Karena ada orang asing yang bisa masuk ke dalam apartemennya dengan leluasa. Sosok asing yang hanya terlihat seperti siluet pria dewasa bertubuh kekar itu, kini memasuki kamar Rachel. Ia melangkah dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sedikit pun.

Saat duduk di tepi ranjang mungil Rachel, wajahnya pun separuh terlihat. Berterima kasihlah pada sinar bulan yang memang memasuki kamar gelap tersebut. Sayangnya, hanya separuh wajahnya yang terlihat. Meskipun begitu, siapa pun bisa menilai jika pria itu memiliki wajah tampan. Aroma leather memenuhi kamar Rachel yang sebelumnya dipenuhi aroma manis kesukaan Rachel.

Benar, sosok tersebut tak lain adalah William. Tidak perlu heran dengan kemampuannya memasuki apartemen Rachel. Karena tidak ada hal yang mustahil bagi William. Di sisi lain, Rachel sendiri adalah wanita yang sudah ia klaim sebagai miliknya. Jadi, ini bukanlah hal illegal, menurut William.

William mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Rachel dengan lembut. Tentu saja Rachel tidak terbangun, karena pengaruh obat tidur yang ia konsusi. William menatap botol obat tidur di atas nakas dengan tajam. Ia meraihnya dan menuangkan seluruhnya ke dalam gelas berisi air. Tentu saja obat tersebut larut sepenuhnya di dalam sana.

William kembali menatap Rachel dan berkata, "Mulai saat ini, kau tidak boleh meminum obat tidur lagi. Itu berbahaya untuk kesehatan. Kau harus menjaga kesehatanmu apalagi saat kau mengandung nanti."

William menyeringai dan mencium kening Rachel dengan penuh kelembutan. "Kau milikku, Rachel. Selamanya akan begitu," bisik William dengan nada rendah yang mengerikan.






.


.

.

Seneng enggak?
Seneng enggka?
Senenglah, masa enggak wkwk
Yok yang semangat tinggalin jejak.


Sayang kalian semua❤

No More PainWhere stories live. Discover now