13. A Psychological Warfare

11K 2K 173
                                    

Kesalahan terbesar Wisnu adalah membiarkan Sally sendiri, setelah segala hal yang terjadi di antara mereka

Hoppla! Dieses Bild entspricht nicht unseren inhaltlichen Richtlinien. Um mit dem Veröffentlichen fortfahren zu können, entferne es bitte oder lade ein anderes Bild hoch.

Kesalahan terbesar Wisnu adalah membiarkan Sally sendiri, setelah segala hal yang terjadi di antara mereka. Ada kalanya ia ingin meminjam mesin waktu, untuk kembali ke malam itu, ketika usianya menginjak dua puluh enam. Seharusnya ia menuruti ayahnya untuk mengadakan pesta di rumah saja, alih-alih menyewa vila di Puncak.

Seharusnya— begitu banyak hal yang bisa dikreasikan dari awalan 'seharusnya'. Harapan semu manusia akan sesuatu yang bisa dihapus, diputar balik, dimanipulasi. Sayangnya garis waktu akan terus maju, bukan mundur apalagi berbelok. Hal semacam itu hanya ada di alam fiksi. Wisnu sadar kesempatannya untuk bertemu dengan khayal semacam itu sama tipisnya dengan kemungkinan ia menghapus dosa.

Beberapa bulan silam, ketika Wisnu membuka mata karena suara isak tangis. Mengumpulkan sisa nyawanya yang masih terombang-ambing di alam bawah sadar, lelaki itu hanya bisa menatap kosong pada langit-langit yang berhias lampu kristal.

Hal pertama yang Wisnu lakukan ketika napasnya mulai koheren, ia meraih tangan kiri Sally yang tengah menutupi wajahnya. Telapak tangan yang bersimbah air mata itu, digenggamnya erat. "Sal, maaf," bisiknya.

Sally bahkan tak sanggup menjawab, dan masih kesulitan menahan riak getir di kerongkongannya. Sakit hati mungkin tidak cukup untuk menggambarkan rupa sang gadis, pagi itu. Gadis yang seharusnya tidak pantas diperlakukan macam barang. Gadis yang sudah sewajarnya Wisnu junjung tinggi harga dirinya, tapi apa yang terjadi?

Kombinasi euforia, alkohol, dan bisikan setan. Bagaimana Wisnu yang memanfaatkan kondisi Sally tanpa berpikir panjang, bahwa itu teman baiknya, bahwa Sally bukan orang yang pantas ia jadikan pelampiasan. Wisnu setidaknya masih bisa samar-samar mengingat bagaimana mereka bisa terdampar di kamar ini, sementara Sally? Ia pasti menganggap semua ini pelecehan.

Keduanya sama-sama tahu ada sesuatu berharga yang hancur di antara mereka. Bukan hanya di antara seorang Wisnu dan seorang Sally, tapi juga mungkin keluarga mereka.

Dan yang membuat Wisnu tak habis pikir adalah, bagaimana sampai detik ini Sally sanggup menyembunyikan semua darinya. Namun bukankah Wisnu yang bertindak seolah tidak ada apa-apa? Bukankah dia sendiri yang membiarkan Sally merentangkan jarak semakin jauh dengannya? Semua memang salahnya, dan sahabatnya yang satu ini tidak memberinya kesempatan untuk memperbaiki apa yang ia rusak.

Kini yang memenuhi ruang pandangnya hanya wajah pucat Sally. "Lo muntah, barusan? Iya, kan?" tanya Wisnu.

Sally tertawa, terdengar dipaksakan. "Enggak, gue kebelet pipis aja sih. Cuma ya, gue pengen pulang aja gitu tiba-tiba. Nggak papa kan? Lo jangan ngeliatin gue kayak gitu, deh!"

Wisnu menurunkan pandangannya, lantas mengangguk. "Yaudah, gue anterin."

"Nggak usah, gue sendiri aja," tolak Sally.

"Jangan batu, udah pokoknya gue yang anterin."

"Lah, terus mobil gue gimana?"

"Kita pake mobil lo, tenang aja." Wisnu langsung menggenggam tangan Sally dan mengabaikan protesnya soal bagaimana nanti Wisnu pulang, dan segala kekhawatiran lain. Padahal peduli setan, masih banyak taksi di Jakarta, seharusnya Sally tidak perlu memusingkan hal itu.

ElevateWo Geschichten leben. Entdecke jetzt