6. The Real Showdown

15.9K 2.5K 190
                                    

Rahmat cukup berbakat menyetir rupanya, meski awalnya mobil sempat mundur alih-alih maju, karena pemuda itu masih kagok dengan runutan persnelingnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rahmat cukup berbakat menyetir rupanya, meski awalnya mobil sempat mundur alih-alih maju, karena pemuda itu masih kagok dengan runutan persnelingnya. Namun ia berhasil membuktikan diri, bahwa dia fast learner. Sesekali Maia berusaha menahan diri agar tidak mengumpat sepanjang perjalanan karena Rahmat terlalu keras menginjak rem, seolah semakin diinjak, akan semakin aman. Padahal, yang ada perut Maia terkocok-kocok nyaris mual. Tapi setidaknya mobil bisa sampai di kediaman Tjokrohadinoto tanpa harus mampir bengkel dulu.

Kendati demikian, nilai minus terbesarnya adalah ketika hendak masuk parkir. Rahmat membuka jendela lebar-lebar, dan melongokkan tubuhnya keluar dengan heboh, layaknya memarkirkan truk gandeng. Maia nyaris menjambak rambut klimis Rahmat, andai tidak teringat usaha keras si Rebecca Van Houten membuat mahakarya rambut bak sarang walet itu. Sungguh kala itu Maia mendadak merasa menjadi manusia paling sabar sejagat.

Menghela napas sepuas hati, Maia berdehem, "Matt ...."

Rahmat, merasa tak terpanggil, ia justru merapikan seat belt, bahkan karcis-karcis parkir di dashboard. Hingga sikunya ditarik oleh Maia, baru ia menoleh. Bukannya menyahut, dia hanya mengerjap-ngerjap.

"Matt?" panggil Maia sekali lagi.

Rahmat masih belum bereaksi, layaknya anak kucing yang menolak nama panggilan majikan. Ia hanya menyedot udara dari hidungnya. Pura-pura budek.

Maia membuang napas perlahan, lalu tersenyum. "Matthew? Smile, please?"

"Mat aja deh, Mbak. Saya takut lupa he, itu asing banget Met, Met ... gitu," protesnya. Maklum Maia menyebut nama panggilan barunya— Matthew— dengan logat ningrat Buckingham, jadilah terdengar menggelikan di telinga cinta Nusantaranya Rahmat.

"Please, cuma buat hari ini aja, kok? Aku kan pilihin nama yang paliiing mendekati nama aslimu, jadi nggak susah-susah amat kok, yah, Matt?" Maia memandangnya dengan tatapan berkaca-kaca sok cantik. Yah, meski cantik betulan sih.

Menilai diamnya Rahmat sebagai ambiguitas, Maia berdecak kecil. "Ck, yaudah maunya apa dong? Robert? Albert? Raymond? Balthazar? Romeo? Freder—"

"STOP! STOP!" Rahmat pun menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia merasa gerah dengan nama-nama bule yang jelas tak akan ada cocok-cocoknya dengan tampang sepertinya.

Maia mengerucutkan bibirnya, tak suka dipotong dengan cara seperti itu. Ia pun menegakkan bahunya. "Yaudah, Matthew yang paling pas, kan? Udah, nurut aja. Pokoknya seperti perjanjian kita, kamu nggak usah ngomong banyak, cukup senyum aja. Aku akan bilang kamu lagi sariawan, radang tenggorokan, jadi nggak mau ngobrol sama orang nggak penting! Deal?"

Rahmat mendadak ingin kabur saja, melihat jejeran mobil mewah yang hilir mudik di sekitar parkiran luas itu. Apa iya semuanya semudah apa kata Maia?

"Kita nggak usah turun sekarang, nanti aja. Dan kita nggak bakalan lama kok di dalem, like ... 15 minutes maximum, so don't worry. I'll handle it!" Maia menatapnya penuh determinasi. Seumpama semudah membalik telapak tangan, meski Rahmat sama sekali tidak tahu apa yang akan ia hadapi di dalam rumah mewah bernuansa Jawa itu.

ElevateWhere stories live. Discover now