"Kok dada kamu kenceng banget degupannya? Kamu sehat kan?" Amira menyentuh dada Angkasa yang dilapisi hodie putih. Jelas saja mata Angkasa membola. Dengan pelan, Angkasa menggenggam tangan Amira. Hampir saja ia kelepasan untuk menepisnya. Jangan, jangan sampai Amira tahu apa yang ia rasakan sebenarnya.

"Gue---gue panas. Lo agak jauhan ya. Gue selesai main gamenya."

Amira hanya mengangguk. Dia menggeser tubuhnya agar menjauh dari Angkasa. Amira masih terheran-heran. Orang kepanasan, kok jantungnya ikut deg-degan? Kalo Angkasa udah lari sih, itu normal. Tapi ini? Amira jadi bingung sendiri dibuatnya.

"Angkasa,"

"Eum?"

"Aku mau cari Mama ya. Kamu kalo bosan pulang aja. Nanti aku pulang sendiri."

"Gak. Gue tungguin."

"Lama loh. Aku mau bikin kue juga."

"Gue tidur."

Angkasa merebahkan dirinya disofa. Saat dirinya akan memejamkan mata, tiba-tiba saja Amira menepuk pundaknya beberapa kali.

"Apa lagi, Mir?"

"Tidurnya dikamar aku aja. Gak enak kalo di sini. Gih ke atas. Taukan?"

Angkasa mengangguk. Dia berjalan menaiki tangga lalu masuk kedalam kamar Amira untuk tidur siang. Sedangkan Amira sudah menyusul Mamanya yang tengah berkutat di dapur.

"Ma,"

"Udah mesra-mesraannya?"

"Apaan sih, Ma! Jangan gitu deh." Amira cemberut saat mendengar ucapan Mamanya. Mesra apaan coba? Amira tak pernah terpikir untuk berbuat hal seperti itu jika sedang bersama Angkasa.

"Tadi tuh, rangkul-rangkulan. Angkasa liatin kamu terus lagi. Ciee anak Mama udah gede nih. Ahay!"

"Mamaaa ih!"

Bunga mencolek sekilas hidung anaknya. Sangat menyenangkan menggoda Amira.

"Mama bikin kue apa?"

"Maunya apa? Nanti bagi Bunda Aci ya."

"Mama inget terus ya, sama besan." Amira nyengir.

"Harus inget atuh, Mir. Kemarin Bunda Aci baru aja dari sini."






***



Setelah satu jam lebih berkutat di dapur untuk membuat kue. Akhirnya sekarang telah selesai, dan siap untuk dinikmati. Amira yakin sepenuh hati, jiwa, dan raga jika rasanya pasti enak. Karena yang buat, Mamanya. Amira sih, cuma bantu ambil-ambil alat, plus ngaduk-ngaduk.

"Ma, aku mau panggil Angkasa dulu---"

"Dia udah pergi."

"Loh? Kapan?"

"Pas kamu beli pewarna. Angkasa pamit ke Mama. Katanya kalo kamu mau pulang harus telpon dia dulu. Perhatian banget gak tuh? Emang Papa kamu gak salah pilihin Imam buat anaknya." Bunga tersenyum kecil diakhir ucapannya.

"Emang Angkasa mau kemana, Ma?"

"Mana Mama tau. Tanya aja, nggak?"

"Nggak ah. Angkasa galak, Ma."

Amira duduk dimeja makan. Mengambil satu potong bolu lapis lalu mengunyahnya pelan. Kenapa Angkasa tiba-tiba pergi? Apakah urusannya sepenting itu? Amira tak habis pikir. Terkadang kehidupan Angkasa itu sulit untuk dipahami. Bukan hanya kehidupan nya saja. Perasaannya pun, sangat sulit ditebak. Kadang Amira dibuat melting, kadang juga dicuekin. Katanya mau coba buka hati, tapi sampe sekarang Amira belum mendengar pengungkapan Angkasa tentang perasaannya. Sebenarnya siapa yang salah di sini?

Amira yang terlalu berharap akan sebuah ungkapan perasaan?

Atau Angkasa yang seakan tak peduli dengan sebuah ungkapan?

"Mir,"

"Iya, Ma?"

Bunga berjalan menghampiri Amira, lalu duduk di depan putrinya, "Kamu udah sejauh mana sama Angkasa?"

Sejauh mana?

Dalam artian apa?

Amira bingung harus jawab gimana. Lagi pula, ia hanya menjalankan kehidupan sehari-hari seperti biasa. Kenapa Mamanya tanya begitu?

"Sejauh apanya, Ma?"

"Itu loh. Gimana sih kamu ini. Kalian udah tidur berdua?"

"Udah Ma. Itupun Angkasa yang ngajak." Amira menjawab jujur. Lalu kembali mencomot kue lapis.

"Tidur dalam artian nganu, Mir. Udah?"

"Nganu?" Amira mengernyit heran.

"Ekhem... Sesuatu?"

"Hah?" Amira mengernyit bingung. Sedetik kemudian, Amira mlotot kaget. Yaampun! Ternyata Mamanya sedang menanyakan tentang itu! Amira tak habis pikir. Cepat-cepat dia menggeleng. Membuang pikiran aneh yang hinggap diotaknya. Kenapa rasanya pipi ini seperti panas? Amira berdehem, mengusap kedua pipinya pelan.

"Udah, Mir? Mending jangan dulu ya. Kalo pun Angkasa mau, mending pake pengaman dulu. Biar gak---"

"MAMAAAA!" Amira menutup wajah. Cukup malu dengan percakapan ini. Aish! Apaan coba! Tidak mungkin jika Angkasa mengajaknya seperti itu! Lagi pula ia tak ingin melakukan hubungan tanpa saling mencintai.

"Apa sih, Mir. Santai aja. Kan sama Mama."

"Amira malu ih! Jangan bahas kayak gituan deh!" Amira menatap Bunga cemberut.

Bunga terkekeh. Menepuk pelan kepala putrinya, lalu kembali memasukan kue kedalam wadah untuk diberikan ke Bunda Aci.






***

Amira berjalan keluar rumah. Tadi Mamanya menyuruh untuk membeli garam diwarung sebrang. Jaraknya memang tak terlalu jauh. Cuma nyebrang jalan kecil, terus jalan kaki bentar, nyampe. Setelah Amira membeli dua bungkus garam, ia memutuskan untuk langsung pulang. Bentar lagi gelap, sepertinya dia harus cepat menelpon Angkasa untuk menjemputnya.

Saat Amira ingin membuka gerbang rumah, tiba-tiba saja ada lelaki yang memanggilnya dari belakang. Amira berbalik, mengernyit heran saat melihat ciri-ciri motornya begitu asing menurut Amira.

"Hey."

Amira mengangkat alis bingung. Ada apa dengan cowok di depannya ini? Ingin langsung masuk, namun terkesan tak sopan sekali.

"Cari siapa?"

"Lo, Amira?"

Bukannya menjawab, cowok di depannya malah balik bertanya. Amira hanya menjawab dengan anggukan.

"Kamu siapa?"

"Temennya Angkasa."

"Temen?" Setau Amira, Angkasa gak punya temen lagi, selingkuh Azhar dan Agharna. Atau mungkin Amira yang tak tahu. Entahlah. Amira juga baru pertama kali ini bertemu dengan manusia di depannya. Dalam hati, dia harus waspada. Siapa tau dia ini bukan orang baik-baik, bisa jadi bukan?

"Ngapain di sini?" Amira bertanya langsung. Dirinya sudah jengah melihat cowok di depannya terus memperhatikan dirinya.

"Kata Angkasa kalo lo mau pulang, bareng gue aja. Dia lagi ada urusan."

Urusan?

Kenapa Angkasa tega menyuruh Amira pulang dengan yang lain? Apakah benar orang ini suruhan Angkasa? Rasanya Amira tak percaya. Lebih baik ia menginap dirumah Mamanya daripada harus pulang dengan orang yang tak dikenal. Apalagi jarak rumahnya dari sini lumayan jauh.

"Aku mau nginep. Bilangin sama Angkasa. Kamu pulang aja, aku mau masuk."

Terkesan tak sopan memang. Namun beginilah Amira saat sudah merasa jengah. Amira juga bingung, bagaimana orang itu bisa mengetahui rumah Mamanya? Apakah Angkasa yang memberi tahu semua ini? Rasanya tak mungkin.

"Gak usah dipikirin. Ribet."

"Dia siapa coba? Sokap banget."




*
*

ANGKASA [END]Where stories live. Discover now