26. Tantangan untuk Chiko

Start from the beginning
                                    

Kondisi menjadi hening. Anya yang suka nyerocos berubah jadi pendiam. Dia sadar diri telah menyentil perasaan Sesil tadi, membuat gadis yang biasanya ceria itu jadi murung akibat ucapannya.

“Yuhu! Calon makmum.”

Sepasang kaki berdiri tepat di depan Sesil dan Anya. Napas Chiko tersengal seperti habis di kejar anjing, lebih anehnya lagi cowok itu menggunakan kostum yang cukup unik. Dia memakai daster emak-emak.

*****

Chiko berjalan melewati gang sempit sambil membawa bendera marching band milik Sesil.

Sepanjang perjalanan hanya gerutuan yang terdengar. Dia cukup kesal dengan keapesan yang terjadi berturut-turut di hari ini.

Dari Tito yang tidak mau meminjamkannya motor untuk mengantar Sesil sekolah, jatuh tersandung papan catur, dilempari Bagas pakai anak catur, ditendang Tito cukup keras, dan yang baru saja terjadi dia masuk rumah sendiri layaknya maling.

Baru satu hari Chiko tidak pulang karena tertidur di Apartemen Sesil, orang tuanya sudah pergi saja meninggalkannya. Rumah sepi dan terkunci, belum lagi Dev abangnya pergi ke luar kota bersama teman-temannya sejak tiga hari yang lalu.

Tidak ada konfirmasi apa pun yang Chiko dapat dari kedua orang tuanya, bahkan mereka juga tidak meninggalkan kunci cadangan untuk dia. Apakah mereka lupa kalau memiliki seorang anak?

Dia sampai harus memanjat pagar rumahnya sendiri, menyongkel pintu balkon kamarnya dan berkeliling rumah mencari bendera Sesil yang disimpan Bundanya.

Setelah ketemu Chiko langsung keluar dari rumah, mengingat Sesil pasti sudah menunggunya di sekolahan.

Namun sesampainya di gerbang depan rumah cowok itu baru sadar kalau dompetnya tertinggal di dalam kamar. Mau kembali masuk rumah rasanya malas, mengingat betapa susahnya masuk ke dalam tadi.

Akhirnya cowok itu memutuskan untuk jalan kaki saja. Tidak lucu juga kalau dia ngutang pada ojek online.

Minta bantuan teman-temannya? Jangan harap, Tito sudah mengompori mereka semua agar tidak mengasihani Chiko, karena cowok itu dikasih hati malah minta jantung.

“Habis ini ke arah mana ya?” Chiko menggaruk kepalanya yang tidak gatal menatap jalanan bercabang di depannya.

Chiko memang mengambil jalan pintas agar cepat sampai di sekolah. Ini adalah pemukiman padat penduduk, di mana jalannya berlenggak-lenggok dan penuh cabang.

Dulu sewaktu kecil Chiko sering main ke daerah itu karena dia punya teman SD di sana.

Tapi untuk sekarang jangan di tanya. Otaknya sudah penuh dengan rumus-rumus jadi wajar hal sepele seperti jalan setapak tidak bisa dirinya tampung.

“Pakai google maps bisa kali ya.” Cowok itu mengambil ponsel dari saku celananya lalu masuk ke dalam aplikasi maps.

Perjalanan aman terkendali, maps yang dipakainya menunjukkan jalan dengan benar. Bahkan liku-liku jalan dalam gambar sama persis dengan jalan sempit yang dilaluinya.

‘Belok kiri.’

Chiko menoleh ke kiri, “Mana jalannya woi!” Cowok itu meraba tembok di sampingnya.

Sepertinya Chiko salah menganggap maps sebagai petunjuk arah yang benar. Nyatanya ketika pengisi suara itu berucap belok kiri tidak ada jalan di sebelah kirinya. Atau jalannya memang sengaja di tembok oleh salah satu warga di sana?

Google maps sialan!” Chiko mengeluarkan diri dari aplikasi tersebut.

Cowok itu kembali berjalan, untuk kali ini dia menggunakan kata hati. Walaupun perkampungan tersebut sudah mirip seperti labirin tapi masih ada banyak manusia yang bisa ditanyainya untuk menemukan jalan keluar.

My ChikoWhere stories live. Discover now