"Aku---"

"Pulang bareng gue."

"Tapi--"

Angkasa berbalik, segera pergi dari sana. Meninggalkan Amira yang masih terdiam ditempat. Angkasa memang aneh, pikirnya.

"Pulang bareng Angkasa, berasa jadi seleb dadakan."


***



Di sini Amira sekarang. Berdiri di depan halte bus sambil memakan ice cream. Amira sudah menagbari Angkasa jika ia menunggu di sini. Ia cukup malas jika harus berjalan bersisian bersama Angkasa, banyak yang liatin soalnya. Amira kadang heran, Angkasa itu ganteng kok. Tapi kenapa dia selalu menolak jika ada yang mendekatinya. Namun semakin lama mengenal Angkasa, ternyata dia tidak secuek yang Amira bayangkan. Malah sekarang, Amira sudah tertarik padannya. Ralat, mungkin Amira sudah mempunyai rasa pada Angkasa. Namun entahlah, rasanya ia tak cukup berani untuk mengungkapkan.

"Angkasa lama."

Amira bergumam pelan. Satu cup ice cream telah habis ia makan. Sesekali ia mengecek ponsel, apakah Angkasa menghubunginya? Namun ternyata tidak.

Sebuah motor hitam berhenti tepat di depannya. Dengan senyum mengembang, Amira berjalan menghampiri motor itu, "Kok lama--eh?"

Amira mengernyit. Ternyata dia bukan Angkasa. Senyum yang semula terbit, sekarang tergantikan dengan kernyitan heran. Ah, ternyata dia teman sekelasnya, Dimas.

"Dimas?"

"Nunggu siapa?"

Dimas turun dari motornya, berjalan menghampiri Amira, "Nunggu siapa?"

Amira tersenyum sekilas. Dia hanya menggeleng, tidak menjawab pertanyaan Dimas, "Nggak kok. Gak nunggu siapa-siapa."

Dimas mengangguk. Dia duduk disamping Amira, entah apa yang Dimas lakukan di sini. Amira tak peduli. Tapi, bagaimana jika Angkasa melihat dirinya tengah berduaan dengan Dimas di sini? Kalo dia salah paham gimana? Eum, rasanya tak mungkin Angkasa seperti itu. Kecuali jika Angkasa benar-benar sudah punya rasa pada Amira.

"Dimas nunggu siapa?"

"Gak ada."

"Terus ngapain di sini?"

Amira menatap Dimas heran. Namun Dimas hanya tersenyum singkat menanggapinya. Sebenarnya itu akal-akalan Dimas saja agar bisa berdua dengan Amira, "Pengen temenin lo."

"Gak usah. Aku lagi pesen taksi kok, bentar lagi juga nyampe." Amira mengusir Dimas secara halus. Sungguh Amira tak nyaman dengan situasi ini.

"Mana taksinya?"

"Mungkin bentar lagi datang."

Dimas mengangguk. Tiba-tiba saja ponsel Dimas berdering, dengan cepat Dimas mengangkatnya. Dia berjalan sedikit menjauh dari Amira. Beberapa menit kemudian, Dimas pamit kepada Amira untuk pulang lebih dulu. Amira hanya mengangguk sambil tersenyum kecil.

"Duluan ya."

"Iya, hati-hati."

Dimas berlalu. Amira kembali duduk dikuris halte, sesekali bersenandung kecil mengusir bosan. Sudah tiga puluh menit, namun Angkasa masih belum datang. Saat Amira ingin menelfon Angkasa, namun niat diurungkan saat melihat motor Angkasa berhenti di depannya.

"Angkasa kok lama?"

Angkasa tak menjawab. Dia menyuruh Amira agar cepat naik ke atasnya motornya. Setelah Amira naik, Angkasa langsung meng-gas motornya dengan kencang.

"Angkasa, pelan-pelan!"

Angkasa tak mengubris, dia malah semakin menambah kecepatan motornya. Amira jelas saja takut. Dia hanya bisa berdoa sambil memejamkan mata. Tangannya mencengkram erat ransel Angkasa. Sungguh, Amira sangat takut sekarang.

ANGKASA [END]Where stories live. Discover now