Sesil berdecak kesal. Dia menaruh mangkok di atas nakas lalu menarik tangan dua temannya.

“Eh... Mau kemana?” tanya Anya dan Bella hampir bersamaan.

“Mau ke bawah. Tanya langsung sama Pak Polisi kenapa mereka berhenti di situ,” jawab Sesil.

“Aneh-aneh aja lo, gak perlu elah!” ungkap Anya.

Mereka bertiga berhenti di depan lift yang tertutup, “Siapa suruh dikit-dikit ngadu sama Om dan Tante.”

“Lalu kenapa aku juga ditarik? Kan aku gak ada sangkut pautnya,” tanya Bella.

Ting!

Lift terbuka. Sesil sudah mengeratkan pegangannya pada tangan dua gadis di sampingnya dan beranjak ingin masuk ke dalam lift. Namun langkah mereka terhenti saat mendapati dua orang yang keluar dari lift adalah polisi.

“Mampus lo! Katanya mau tanya sama Pak Polisi. Tuh ada tepat di depan lo,” bisik Anya.

Sesil menggigit bibir dalamnya. Sebelumnya dia cuman berniat membawa Anya dan Bella ke bawah saja untuk melihat polisi-polisi dari jarak jauh. Siapa tahu bapak-bapak tersebut sudah ditanya oleh orang lain.

Sudah menjadi tabiat seorang Sesil takut dengan polisi sedari kecil, karena almarhumah mamanya sering mengancamnya melaporkan ke polisi kalau dirinya nakal. Jadi mana mungkin dia berani bertanya yang aneh-aneh sama mereka.

“Selamat malam,” sapa salah satu polisi.

“M—malam Pak,” jawab ketiganya gugup.

“Sudah malam. Kalian mau ke mana?” tanya polisi satunya.

Ketiga gadis itu saling pandang sambil memberi isyarat untuk menjawab pertanyaan pria paruh baya tersebut.

“Saat ini kondisi sedang tidak aman. Jangan keluar malam apalagi kalian kaum perempuan.”

Ketiganya meringis tidak enak di hadapan Pak Polisi.

“Kamu tinggal di gedung Apartemen ini?” tanya Pak Polisi dengan mata mengarah pada Anya yang wajahnya masih terlapisi masker.

“T—tidak Pak. Saya sama temen saya ini cuman main di Apartemen Sesil.” Anya menggandeng tangan Bella.

Dua polisi itu mengangguk paham, “Sebaiknya kalian berdua segera pulang, biar saya antar,” katanya. “Pak tolong antar gadis ini kembali ke Apartemennya,” lanjutnya.

Polisi satunya mengangguk lalu menuntun Sesil untuk kembali ke Apartemennya, berpisah dengan kedua temannya tanpa ada acara pamitan.

Padahal barang-barang mereka masih ada di dalam Apartemen Sesil.

Alamat, Sesil besok pasti disuruh bawa tas sekolah tiga sekaligus.

*****

Tok... Tok... Tok...

Sebuah tangan mengetok pintu di depannya. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan keadaan. Sangat sepi. Entah sudah jam berapa sekarang sampai makhluk hidup tak terlihat sama sekali di pelupuk matanya.

Tok... Tok... Tok...

Dia mengulangi mengetok pintu saat tidak mendapatkan respons. Dia sangat lelah, kenapa juga orang di dalam sana tidak kunjung membukakannya pintu. Tidak lucu juga kalau dia harus tidur di depan pintu kan.

Ceklek!

Handle pintu bergerak menurun lalu perlahan pintu pun terbuka, menampakkan sosok gadis cantik yang membulatkan mata menatap orang di depannya.

“Kak Chiko?”

Chiko nyengir lebar. Namun hal itu tidak berlangsung lama saat luka di sudut bibirnya kembali terasa nyari.

“Kak Chiko kenapa bisa bonyok begini?” tanya Sesil khawatir.

“Biasalah, namanya juga cowok. Kalau gak berantem gak keren,” tukas cowok itu.

Sesil menghela napas panjang. Dia menarik tangan Chiko masuk ke dalam Apartemennya sebelum akhirnya pintu ditutup sempurna.

Meninggalkan Chiko di ruang tamu Sesil beranjak menuju dapur mengambil handuk kecil dan air dingin untuk mengompres luka memar serta bengkak yang dialami cowok itu.

Nyatanya hal yang disebut keren bagi golongan cowok adalah yang ditakutkan oleh golongan cewek. Kenapa juga cowok sangat hobi membuat dirinya sendiri merasakan sakit.

“Berantem itu gak ada keren-kerennya Kak.” Sesil berjalan menghampiri Chiko lalu duduk di sampingnya.

“Keren kok,” jawab Chiko.

Sesil menyelup handuk kecilnya di dalam air dingin lalu memerasnya. Tangannya mulai terangkat menyentuh wajah Chiko yang penuh dengan lebam menggunakan handuk.

Sesekali dia ikut meringis saat cowok di depannya itu meringis, dia seperti merasakan apa yang cowok itu rasakan.

“Berantem gak menjamin nyawa masih ada di tempat. Kalau Kak Chiko kehilangan nyawa gimana?” tanya Sesil masih fokus pada wajah lebam Chiko.

“Kayaknya ada yang khawatir nih.” Chiko mengedipkan sebelah matanya.

Sesil mengulum senyum. Ada saja kelakuan konyol cowok di depannya ini, di saat kondisi sedang seperti ini saja dia masih sempat menggoda.

“Ya jelas khawatir lah. Ya kali aku gak khawatir,” tukas Sesil pada akhirnya.

Perasaan Chiko langsung terbang mendengar kalimat sesimpel itu. Sesil tidak pernah gengsi padanya, apa pun yang dia rasakan semudah itu dia ungkapkan. Dan Chiko sangat menyukainya.

“Kamu akan bangga sama aku kalau tau siapa lawan aku tadi,” kata Chiko.

“Emang siapa?” Sesil masih terfokus pada luka-luka Chiko.

“Preman. Badannya gede-gede, apa lagi ototnya beh!”

“Tapi walaupun begitu mereka kalah lawan aku. Ini badan kan kalau dibanding mereka paling enggak lima kali lipatnya ya, masak bisa kalah. Yah mau gimana lagi otot mereka memang gede-gede tapi otaknya kopong, ya jelas kalah melawan Chiko.”

Chiko tidak bohong pasal hal itu. Tadi waktu dirinya menyelinap masuk ternyata di dalam rumah kosong masih ada tiga penjaga lainnya. Membuat dia mau tidak mau harus melawan mereka, mana dengan tangan kosong lagi.

Sialnya lagi ayahnya yang katanya akan menyusul setelah kopinya habis tidak kunjung datang.

Sesil diam mendengarkan dengan saksama cerita yang dilontarkan tunangannya itu. Dia sangat senang saat Chiko bercerita padanya.

Sama halnya dengan Chiko, Sesil pun sangat ingin menceritakan perihal kedatangan polisi tadi dan juga teror telepon misterius yang sering didapatkannya. Tapi melihat Chiko seantusias itu bercerita dia jadi mengurungkan niatnya.

Suatu saat nanti dia pasti akan menceritakannya.














___________________

Bersambung....

My ChikoDonde viven las historias. Descúbrelo ahora