6. Penolakan Demi Penolakan

148 27 15
                                    


"Hati tetaplah hati, perasaan tak dapat di bohongi walau berjuta kali penolakan terlontar"

***

Elia tersentak dengan kalimat-kalimat yang Glen tulis. Dadanya turun naik seperti menahan pedih. Bukannya senang, Elia malah makin kesal terhadap Glen. Ternyata kejadian kemarin tidak membuatnya patah harapan untuk mendapatkan maaf dari Elia.

"Dih, pede amat nih orang!" rutuk Elia kesal.

Winny mengernyit mencoba mengambil surat itu dan membacanya.

"Uuhhhh... so sweeeet!" ungkap Winny sambil menutup bibirnya dengan jari tangan.

"So sweet apanya sih, Win? Meresahkan banget tuh orang," dengus Elia lagi.

Tiba-tiba pintu toko terbuka, mereka berdua sontak menatapnya. Ternyata Diman, Elia takut jika Glen datang lagi.

"Eh, udah pada dateng ternyata... Gue kira belom," ucap Diman yang sadar jadi pusat perhatian.

"Idih, emangnya elo yang telat mulu?" jawab Winny sewot.

"Lagian juga, kok gordennya belum di buka sih?"

Elia menepuk jidatnya mendengar ucapan Diman.

"O iya, Man. Gue lupa," ujar Elia yang langsung melangkah untuk membuka gorden.

Tepat saat Elia membuka gorden itu, dari arah sebrang Glen melambaikan tangannya ketika Elia tidak sengaja melihat ke arah sana.

"Ihhh... Amit-amit!" Elia bergidik ngeri dan langsung berlari ke arah Winny dan Diman.

"Kenapa, El?" tanya Diman yang melihat Elia berlari.

"Ada orang Gila!" jawab Elia yang segera pergi ke mejanya.

Diman dan Winny penasaran, mereka langsung melirik keluar. Karena hampir seluruh bagian depan terpasang kaca transparan, jadinya mereka bisa melihat langsung dengar jelas apa yang ada di luar.

"Ohhhh... Glen!" ucap mereka bersamaan. Tanpa di komando mereka berdua tertawa sepuasnya.

Elia mendengus kesal, ia mencerna kata-kata Glen dalam surat tadi. Ia benar-benar tak habis pikir dengan Glen. Empat tahun silam Glen pergi gitu aja dan sekarang tiba-tiba muncul lagi setelah ia berusaha bangkit dari keterpurukannya dulu dan menemukan lelaki yang mampu membuatnya tersenyum kembali.

"Kenapa lo harus datang di saat yang tidak tepat sih, Glen?" gumam Elia. Ia membenamkan wajah pada kedua telapak tangannya.

"Gue udah lupain lo, gue udah benci sama lo." batinnya lagi.

"Ah udahlah, gak ada untungnya mikirin dia."

Elia cepat-cepat menyalakan laptopnya, mengecek pesanan yang harus dikirimnya hari ini. Elia tersenyum senang, orderan akhir-akhir ini lumayan banyak. Di era zaman sekarang sangat terbantu dengan penjualan online-nya lewat sosial media dan layanan e-comerse lainnya. Elia meng-copy datanya dan mengirimkannya pada Winny.

"Waaaww... Sebanyak ini?!" pekik Winny sambil melirik ke arah Elia.

Elia mengangguk dan segera bangkit memilih buku-buku yang akan di-packing.

FYI, meskipun Elia pemilik toko buku itu tapi Elia tidak pernah berprilaku seolah Bos. Jadi kesibukan mereka sama rata.
Mereka bertiga bagi tugas, Elia memilih buku, Diman menyiapkan kardus buat packing dan Winny mendata sambil melayani pembeli yang datang ke tokonya langsung.

Glen berdiri di depan kedainya sambil menyenderkan tubuhnya pada tembok. Ia memperhatikan Elia dan temannya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Bang, gue ke sana dulu ya!" teriak Glen pada Tian. Ia segera melangkah tanpa menunggu jawaban Tian.

After The Rain (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now