2. Titik Terang Sebuah Rindu

189 35 10
                                    

***


Malam ini sungguh mencekam, tubuh seolah bergetar menahan dingin. Hujan belum turun, tapi anginnya sudah cukup kencang. Tak ada cahaya bulan ataupun bintang, langit malam ini terlihat makin gelap tertutup awan.

Glen tak ingin cepat-cepat pulang ke rumah, ia teringat kedai kopi almarhum papanya yang di kelola sepupunya, kemudian memutuskan untuk ke sana. Ia terlihat memperlambat laju motornya meski udara kian menusuk kulit hingga ke tulangnya. Berbeda dengan pengendara yang lain, mereka justru mempercepat lajunya ingin segera sampai ke tempat tujuan masing-masing sebelum hujan deras turun menyapa bumi.

Napas Glen kian sesak. Bukan, bukan karena ia kedinginan. Namun, ia tiba-tiba teringat dengan seseorang di masa lalunya. Ia hanyut dalam lamunan itu, kenangan demi kenangan kini berlarian dalam pikirannya. Empat tahun sudah ia tak pernah bertemu atau sekedar bertegur sapa lewat sosial media. Tak ada satu hari pun tanpa memikirkan gadis itu. Tapi apalah daya, ia tidak bisa berbuat apa-apa di negeri sebrang itu. Ia bahkan putus asa, gadis di masa lalulanya itu cantik juga baik. Bisa jadi ia sudah menikah atau bahkan sudah punya anak. Ataukah dia masih melanjutkan pendidikannya? Glen terus menduga-duga dan berharap bisa segera menemukan jawabannya.

"Gleeen, hola-hola...."

Belum juga ia menstandarkan motor Ninja-nya, sepupunya yang dia panggil bang Tian itu langsung menyapanya. Lalu bersalaman ala-ala cowok macho.

"Hai Bang," sapanya juga.

"Baru balik dari Belanda langsung kesini aja, nih."

"Iya nih, Bang. Gue pengen nyeruput kopi panas," ujar Glen sambil merapikan rambutnya yang berantakan akibat Helm.

Tepat saat itu, hujan turun menyapa bumi begitu derasnya. Untung saja ia sampai tepat waktu. Jika tidak, ia akan basah kuyup oleh guyuran hujan.

"Oke gue buatin ya buat lo. Tapi ada syaratnya...."

"Apa? Buruan deh!"

Glen masuk ke kedai itu menyusul abangnya. Lalu ia duduk menghadap meja tempat racikan kopi itu.

"Lo kan abis dari Belanda, nih. Udah punya gebetan atau pacar orang sana, kan? Cerita dong!"

Mendengar syarat dari abangnya itu Glen malah terbahak, sepupunya itu bisa aja menggoda dia. "Gue gak punya."

Abangnya Glen yang bernama Tian itu sedikit mengernyitkan alisnya. "Bohong, lu! Mana mungkin empat tahun di sana gak punya pacar?"

Glen terkekeh mendengar ucapan Tian. "Beneran loh Bang, ngapain gue bohong?"

Tian mengedikkan bahunya. "Ya siapa tau aja, ah gue tau nih... Atau jangan-jangan-"

"Udah ah, buruan deh kopi gue mana?" potong Glen langsung

Tian segera menyodorkan secangkir kopi dalam gelas ukuran kecil. "Americano ala Tian Mahendra," ucapannya dimirip-miripkan iklan kopi di TV.

Glen geleng-geleng kepala melihat tingkahnya sepupunya itu. Ia segera menyeruput kopinya, memaknai cita rasa yang menyapa lidah dan kerongkongannya.

"Makin nikmat aja ni kopi," gumam Glen pelan, namun berhasil terdengar oleh Tian.

"Ya ialah, Tian gituloh."

Lagi-lagi Glen tertawa. "Ajarin dong, Bang!" pinta Glen.

"Buat apa-an, heh? Lo mau jadi Barista di sini?" tanya Tian menggodanya.

"Boleh, tuh."

"Yeehh... gue canda kali."

"Serius Bang, gue jadi Barista aja deh. Ya... Sambil nunggu job foto."

"Lah, kan lo ngurusin kantor bokap lo, kok malah jadi Fotografer, sih? Yang bener aja lo kalo ngomong. Masa sarjana Ekonomi jadi tukang foto? Ngawur lo!" cerca Tian sambil tersenyum sinis.

Glen menggeleng kuat. Dia lupa, abangnya ini gak tau apa-apa soal rencana dia dan keluarganya.

"Jadi, almarhum Bokap gue tuh udah ikhlasin gue buat jadi diri gue sendiri, fesyen gue bukan di sana, tapi jadi tukang foto dan tukang corat-coret tembok. Eh, kanvas maksudnya."

Tian manggut-manggut, ia baru tahu sekarang soal itu. Setau dia dari dulu bokapnya Glen keukeuh ingin Glen jadi penerus perusahaannya. Sampai-sampai Glen harus di terbangkan ke Belanda untuk kuliah di sana.

"Kantor di jual?" tanya Tian mengundang tawa Glen.

"Ya enggaklah. Ngaco lu... Ada kepercayaannya bokap, dia yang megang."

Tian manggut-manggut mencerna kalimat yang di ucapkan Glen sambil mengelap mejanya.

"Ya udah deh, Bang. Gue cabut duluan ya, pokok nya besok gue ke sini pagi-pagi dan lo harus nerima gue jadi Barista baru di sini. Dan jangan lupa, gue di gaji ya... Lumayan buat beli kamera baru."

"Yahh... terserah elo deh, Glen."

Tian pasrah, ia sangat tidak mengerti tentang keinginan konyol Glen itu. Tetiba ia menyesal sendiri tadi sudah menawarkan hal itu, meski hanya bercanda saja.

"Dasar orang kaya gak tau di untung! Udah hidup enak, dikasih masa depan sama bokapnya, eh malah melawan takdir mau jadi tukang foto. Sekarang lagi, mau jadi Barista. Mana mau di gaji, lagi!" umpat Tian saat Glen telah berjalan keluar.

"Hayo nyerocos mulu! Aku gak di ladenin, dong," ucap salah satu customer menyadarkan Tian.

"Eh, Mbak. Sorry ya, eumm mau bayar ya? Bentar saya cek dulu... Totalnya 64 ribu," ujar Tian sambil menyerahkan struknya.

"Sorry ya, Mbak!" ucap Tian meminta maaf pada wanita itu yang hanya membalas dengan senyuman.

Saat Glen menyalakan motornya, matanya tidak sengaja menangkap tulisan besar dalam plang di depan sebuah toko yang bersebrangan dengan kedai kopinya itu. 'Toko Buku kejora'.

Dan sedetik kemudian, dada Glen terasa sesak. Seperti ada palu yang menghantam dadanya.

'Setelah hujan reda, aku menemukan titik terang sebuah rindu. Kejora yang kusematkan padamu membuatku selalu merasa dirimu ada tatkala melihat dan mendengar namanya.'

"Semoga pemilik kejora itu adalah kejora yang aku rindu."

Ia segera melajukan motornya dan berharap segera kembali kesini besok. Untuk memastikan semua yang berkecamuk malam ini. Untuk membuktikan bahwa 'Setelah Hujan Reda, akan ia temukan bahagia'.

***

Cuap-cuap Author...

Hwaaa aku gak tau harus bilang apa, pokoknya terimakasih banyak untuk yg sudah baca karya aku. Si penulis amatiran yg memiliki halu tinggi. Mhehe... Btw, thanks buat dukungannya...

Doakan kemalasan tidak menghampiri lagi.

Jangan lupa tinggalkan vote dan komennya ya guys...

Follow juga ya, masa iya baca gak follow... hhee.

After The Rain (Sudah Terbit)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum