Chiko berdecak kesal, dia tidak enak sendiri mengabaikan Sesil hanya karena menunggu omongan Bagas yang bertele-tele, “Gue lagi kencan, Nyet!”

“Seriusan?! Sama pacar atau gebetan?”

“Kagak kedua-duanya.”

“Sama Mbak Kunti?”

“Gue matiin nih sambungannya,” ancam Chiko.

Eeeh... Iya-iya gue to the poin,” cegah Bagas. “Bendera marching band milik Sesil tadi ketinggalan di gerbang, jadi gue ambil terus bawa pulang.”

Chiko menurunkan ponsel dari telinganya. Dia menoleh pada Sesil yang masih menikmati suasana alun-alun.

“Sesil.”

Gadis itu menoleh, “Ya?”

“Kamu ninggalin bendera marching band di gerbang sekolah?”

Sesil menepuk jidat, “Oh iya, aku lupa Kak. Tadi ruang penyimpanan alat-alat marching band udah di kunci, jadi aku berniat membawanya pulang aja. Eh malah ketinggalan,” jelasnya.

“Gimana ini? Pasti bakal kena marah Pak guru.” Gadis itu menggigit kukunya sendiri.

Pandangan Sesil beralih ke bawah saat Chiko mengusap punggung tangannya modus.

“Tenang, ada di aku kok. Kamu gak perlu khawatir dengan apa pun, calon imam bisa menyelesaikan semuanya.”

Bagas yang mendengar percakapan itu langsung mengumpat di seberang sana. Dia yang susah payah membawa bendera tersebut sepanjang jalan seperti orang karnaval dan ditertawakan banyak orang, tapi Chiko seenak jidat menganggap semua itu adalah perjuangannya.

“Silahkan sosisnya.”

“Nah, sosisnya udah jadi. Yuk kita makan.” Chiko mematikan sambungan telepon sepihak.

Sesil mengangguk. Mereka berdua makan dengan tenang, walaupun sesekali Chiko melirik tunangannya menunggu Sesil berlepotan.

Namun sayangnya hal itu tidak terjadi, Sesil memakan makanannya dengan benar membuat acara modus Chiko gagal total.

“Kok gak berlepotan sih!” ungkap Chiko kecewa.

Sesil yang masih memakan sosisnya mengulum senyum. Dia sengaja mengoleskan saus sosis keluar area bibirnya, membuat wajahnya ter nodai dan berlepotan.

“Nih berlepotan.” Gadis itu menunjukkan wajahnya yang kotor pada Chiko.

Senyuman Chiko mengembang, Sesil sangat peka dengan maksudnya. Buru-buru dia menyingkirkan piring sosisnya lalu mengelap bibir Sesil dengan—— punggung tangannya.

“Kok pakai tangan sih? Kan ada tisu Kak, tangannya nanti kotor.” Sesil menatap Chiko yang berjarak beberapa inci darinya.

“Gakpapa aku kotor.” Manik mata Chiko menatap dalam netra Sesil, “yang penting kamu jangan.”

Sesil mematung. Tatapan itu berbeda, menyiratkan sebuah keseriusan. Tiba-tiba Sesil merasakan hawa berbeda di rongga dadanya. Sebelumnya berjarak seintim ini dengan Chiko tak pernah membuatnya terbawa perasaan, tapi kali ini kenapa dia bisa sangat gugup?

Tangan besar itu beralih memegang pipi Sesil, membingkai wajah yang sudah menjadi candu Chiko dari saat pertama kali bertemu. Jantung Sesil berdetak kencang, sungguh dia benci dengan situasi ini.

“Dulu kamu bilang mau belajar. Jadi gimana?” tanya Chiko lembut.

“G—gimana apanya?” tanya Sesil balik dengan gugup.

My ChikoWhere stories live. Discover now