17. Calon Menantu

Start from the beginning
                                    

Bunda Puji sudah mempersiapkan diri untuk meledak. Ini sudah malam dan penampilan calon mantunya seakan baru pulang sekolah. Lihat saja apa yang akan dirinya lakukan kalau Chiko mengajari Sesil nakal.

“Kasih paham Yang.” Chiko melipat kedua tangannya di depan dada santai.

“Tadi Sesil ke kunci di sekolahan sampai sore, Bunda. Untung Kak Chiko dan temen-temennya segera datang nolongin Sesil,” jelas gadis itu.

Tatapan Bunda Puji beralih pada Chiko yang entah dari kapan sudah menggunakan kacamata hitam. Cowok itu menampakkan gaya cool sambil menyisir rambut hitamnya.

“Kue Bandung tiga kardus.” Tiga jari Chiko menari-nari menagih janji Bundanya.

Wanita paruh baya itu menghela napas panjang, “Iya-iya, nanti Bunda beliin.” Pandangannya beralih pada Sesil yang terlihat lelah, “kamu mandi dulu ya, nanti Bunda siapkan baju. Sepertinya Bunda masih menyimpan baju Bunda waktu muda dulu.”

“Chiko, antar Sesil ke kamar tamu,” perintah Bunda Puji.

“Siap kanjeng ratu.” Cowok itu membungkuk hormat seperti prajurit kerajaan, “yuk! Aku anter,” katanya menggenggam tangan Sesil.

Gadis itu tersenyum sekilas pada Bunda Puji sebelum melenggang pergi menuju kamar yang sudah disiapkan untuk tamu.

“Kalau udah mandi nanti makan malam ya. Aku tunggu di depan kamar mandi juga boleh deh,” tukas Chiko.

“Gak harus depan kamar mandi juga kali Kak.” Sesil tertawa mendengar penuturan gamblang Chiko. “tungguin di bawah aja.”

“Oke-oke. Nih kamarnya, yuk masuk!” Chiko menuntun Sesil masuk kesalah satu kamar.

“CHIKOOO!!!” Suara membahana terdengar dari Bunda tercintanya.

Cowok itu meringis, “Eh salah kamar. Yang ini deh,” katanya menuntun Sesil ke kamar sebelahnya.

Sekali lagi Sesil tertawa atas tingkah laku konyol Chiko.

*****

Makan malam berlangsung dengan tenang. Hanya ada empat orang di ruang makan. Bunda, Chiko, Dev, dan Sesil. Chiko menatap awas tunangannya dan Dev takut-takut ada percikan cinta di antara mereka.

Bagaimana pun ketampanan abangnya itu tidak perlu di ragukan lagi. Kedua anak Davin Pratama sama-sama mewarisi ketampanan sang ayah.

“Chiko suka grepe-grepe lo gak, Sil?” tanya Dev memecah keheningan.

“Hah?” Sesil mengerutkan kening gagal paham.

“Kalau tuh anak macam-macam sama lo bilang Abang aja. Biar Abang kasih pelajaran dengan tangan kosong,” kata Dev.

Sesil mengangguk mulai paham, “Oh... Sejauh ini gak macam-macam kok, Bang.”

“ABANG?!” Sebelah sudut bibir Chiko berkedut.

Tidak tahu kenapa satu kata itu sukses membuat Chiko cemburu berat. Belum lagi mereka terlihat akrab padahal baru bertemu.

“Kenapa Kak? Ada yang salah? Bang Dev kan abangnya Kak Chiko,” ujar gadis itu.

Chiko merebut sendok yang dipegang Sesil, “Mau nyuapin calon makmum.”

Sesil terdiam melihat tingkah laku Chiko. Kedua sudut bibirnya terangkat, di mulai mengerti arti ekspresi wajah tersebut. Begitu pun dengan Bunda Puji yang kini mengusap punggung Dev sambil menahan tawa.

“Aaa...” Chiko mengode Sesil agar buka mulut.

Gadis itu menurut. Dia menerima suapan demi suapan dari Chiko. Cowok itu sedang ingin memperlihatkan pada Dev kalau status Sesil sekarang adalah miliknya, walaupun belum sah secara agama ataupun negara, tetap saja cincin emas yang tersemat di jari manis keduanya menunjukkan kalau mereka sudah terikat.

“Kalau nanti kita jadi nikah Bundanya Kak Chiko jadi Bunda aku juga kan,” kata Sesil.

Chiko tak menjawab. Moodnya sangat buruk tapi sebisa mungkin dia bersikap lembut pada tunangannya.

“Sama halnya Bang Dev, dia bakal jadi abang aku juga,” timpal gadis itu lagi. “Begitu pun Om Davin ayahnya Kak Chiko.”

Pandangan Sesil beralih pada Bunda, “Bunda, boleh aku panggil Om Davin dengan sebutan ‘Ayah’?”

“Tentu boleh sayang.” Bunda tampak senang mendengar penuturan Sesil.

Gemuruh dalam dada Chiko berangsur menyurut. Apa yang dikatakan Sesil memang ada benarnya.

Jika mereka menikah Sesil akan jadi anggota baru di keluarga Davin Pratama. Tidak salah kalau dia mulai berlatih menyesuaikan diri mulai sekarang. Walaupun pernikahan masih terbilang lama karena Sesil baru kelas XI.

“Masih ngambek. Bisa ilang ngambeknya kalau kita malem mingguan di luar,” kata Chiko.







___________________

Bersambung....




My ChikoWhere stories live. Discover now