Epilog

8.7K 402 107
                                    

Penyesalan selalu datang diakhir. Bila diawal itu hanya pertemuan. Lantas apakah diakhir hanya penyesalan? Tentu tidak. Terdapat kenangan yang selalu teringat.
-
-
-
-
-

Happy Reading

Komen sebanyak-banyaknya gaes

4 TAHUN KEMUDIAN......

"Pah papah! Sini deh cepett! Ini Sultan dapet apa? Liat deh! Bagus bangett, taya apaa gitu," ajak balita berusia kitaran empat tahun itu pada papahnya.

Seorang lelaki membenarkan kacamatanya, lalu mengambil balon dan makanan ringan milik putranya. Satu jinjingan kantung plastik berisi ciki serta jajanan lainnya, ia genggam ditangan kanannya. Sebelumnya ia tadi belanja, di minimarket, hanya untuk sekadar membelikan Sultan jajan. Sementara tangan kirinya memegang balon.

Dreeet dreeet dreet

Tangannya sulit mengambil ponsel disakunya. "Ribet," ucapnya berdecik.

Bruk!

Kantung plastik yang digenggamnya jatuh begitu saja. Cepat-cepat ia menerima panggilan itu. Ternyata dari Fazar. "Halo? Apa?"

"Gue gak ke kantor, agak siangan ya, anak gue minta ke danau. Si Indah lagi belanja."

Lelaki itu berdehem, lalu mematikan ponselnya. Menghela napas pelan, andai istrinya pun masih ada, batinnya.

"Papah! Cepet sini!!" ulang putra kecilnya memanggil kembali.

Lelaki itu menepuk dahinya pelan. Mengambil kantung plastik tadi yang jatuh, lalu membersihkannya sedikit. Untung tidak kotor. "Ada apa nak?" panggilnya menghampiri tiga anak kecil itu. Antara lain, Sultan, Dinar, dan Raka.

"Om Subhan, Sultan mainin katak! Tadi Raka udah bilang jangan. Tapi Sultannya ngeyel Om," adu Raka, yang sudah tak cadel lagi. Dan usianya menginjak delapan tahun.

"Nah iya om, benel-benel, tasih pembelajalan om," ucap Dinar ikut-ikutan.

(R=L K=T)

Subhan membulatkan matanya tak santai. "Katak?" tanya Subhan.

Balita bernama Sultan itu, yang posisinya sedang berjongkok serta membelakangi Subhan. Entah sedang asik memainkan apa itu. Perlahan berbalik badan. Wajah putih bersihnya ternodai tanah lumpur, tangannya memegang katak, serta bibirnya yang tersenyum lebar, menampilkan gigi ompongnya.

"Iya tatat pah, liat deh, bagus ya? Lucu," ucapnya cadel bak Raka saat kecil. Seraya tangannya menekan-nekan katak itu bak jelly.

"Om liat deh, Dinal juga punya. Cicat lebih tenyal tau," ucap balita seusia Sultan sedang menekan-nekan perut cicak yang sedang hamil.

Subhan menggelengkan kepalanya cepat. Mengapa anak-anak ini memainkan binatang? Batinnya. "Cuci," ucapnya datar.

"Lah tenapa? Ga mau, tatat nya balu aja dimandiin, masa halus dicuci lagi?" tanyanya membulatkan mata, menggemaskan.

"Iya, tenapa dicuci?" tanya Dinar.

"Tangannya sayang," ucap Subhan terkekeh.

"Ga mau, Sultan masih mau main sama tatat ini pah. Ga mau sama Ta Lata, Ta Lata jahat," ucapnya menunjuk Raka.

"Jahat apanya? Raka cuman nyuruh jangan mainin kataknya, kasihan. Gitu aja jahat?" ucap Raka tak terima, ia mensedekapkan tangannya. Memang Raka lah yang paling dewasa diantaranya.

"Iya! Ta Lata jahat! Sultan tan ga mau! Tenapa mau main sama tatat aja ga boleh?!" sarkas Sultan tak kalah.

Subhan tersenyum melihatnya, ternyata sifat Sultan hampir mirip dengannya. Tanpa basa-basi, serta memperpanjang masalah. Subhan menggendong Sultan, lalu membawanya menuju air mancur yang tak jauh dari taman ini. Sementara Raka dan Dinar, mereka mengikutinya.

MilSu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang