36. TIGA PULUH ENAM

3K 243 44
                                    

Banyak orang yang ingin meraih lebih dan lebih. Sehingga ia lupa menikmati apa yang telah ia raih.
So, bersyukur~
-
-
Sebelumnya, aku minta maaf karena kemarin nggak up, karena ada sedikit kendala.
-
-
-

Happy Reading

"Kenapa lo diem? Masuk," ucap Subhan dengan dagu yang mengadah dan menuju ke dalam kamarnya.

Deg!

Jantung Mila berdebar kencang, aliran darah ditubuhnya hangat dan terasa. Hei! Ia tidak salah dengar? Apa katanya? Subhan menyuruhnya masuk? Ke kamarnya?

"Sub, aku mau ngomong sesuatu penting," ucap Mila lagi-lagi memberanikan diri. Tak mengindahkan ucapan Subhan tadi.

"Masuk," ulang Subhan yang sudah masuk ke dalam kamarnya. Duduk di sisi ranjangnya, namun memunggungi Mila. Sehingga Mila tak dapat melihat wajah Subhan. Apa yang harus Mila lakukan? Apakah ia harus masuk?

Kakinya mencoba melangkah masuk. Namun ia menggeleng cepat, juga menariknya kembali. Mencoba melangkah masuk, menggeleng kembali dan menarik kakinya keluar. Terus saja seperti itu. Padahal, sebelumnya ia telah masuk. Mengapa dirinya ini menjadi aneh?

"Masuk," ulang Subhan kembali. Mila membulatkan matanya, mengapa Subhan tahu? Seolah-olah melihat kelakuan Mila yang akan masuk ke kamarnya namun tak jadi. Hei! Apakah Subhan cenayang? Ahk entahlah.

Namun dengan satu helaan napas panjang, Mila lagi-lagi memperbulat tekadnya. Ia berjalan masuk. Tidak ada suara langkah kaki sedikit pun. Karena Mila sengaja, mengendap-ngendap. Seperti akan maling saja. Tatapannya tertuju pada seprai ranjang yang di duduki Subhan. Ada yang aneh, apa ya? Ouh iya, dia ingat. Seprai ranjang ini berwarna cokelat muda. Berbeda dengan malam itu yang berwarna putih. Hei! Bukannya sedari tadi Mila berada disini sebelum Subhan. Mengapa ia baru menyadari bahwa warna seprainya berubah? Yakni warna cokelat muda dan perpaduan bantal berwarna putih.

Seketika ia berpikir di benaknya. Noda, ya noda itu. Hilang, tidak ada secuil pun. Pipinya seketika berwarna merah semu. Malu! Lagi-lagi ia malu. Kala mengingat kejadian itu. Ingin rasanya ia marah, lebih-lebih Subhan tampak tak berdosa. Wajahnya tenang-tenang saja juga tampak dingin, seperti biasa. Padahal malam itu, Subhan memaksanya untuk ahk sudahlah janga dibahas. Harusnya ia marah bukan?

"Sub-"

"Udah gue buang," potong Subhan datar.

Mila mengernyitkan dahinya heran. Masih dengan keadaan berdiri. Yang tepat di sampingnya terdapat lemari tinggi dan panjang. Alias lemari miliknya yang berwarna putih, ya saat Fazar membelinya dan mengasihnya. Mila sama sekali tak memintanya. Sementara di samping lemarinya, terdapat lemari yang tak kalah besar dan tinggi. Siapa lagi bila bukan lemari Subhan. Namun, berbeda warna yaitu hitam.

"A-apanya?" tanya Mila sama sekali tak mengerti. Dan untuk mengungkapkan sesuatu yang penting itu, Mila seakan melupakannya.

Subhan tampak mengempaskan napasnya pelan. Ia tahu pikiran Mila kini kearah mana. Apalagi bila bukan ke arah seprai. Yang sebelumnya terdapat bercak darah milik Mila akibat ulahnya tadi malam ehk sudah, jangan dibahas kembali.

"Lo itu lupa? Atau pura-pura bego? Hah?" tanya Subhan berbalik badan. Menatap Mila jengah. Yang hanya diam terkaku di dekat pintu dan di dekat lemari. Seperti patung pajangan toko saja. Ouh iya, maksud dari ucapan Subhan itu yang tak lain adalah seprai. Ya, ia telah membuangnya. Ketika ia tahu akan kelakuannya yang membuat seprai itu kotor. Bukannya mencuci. Tapi justru malah langsung membuangnya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Fazar. Ia mengendap-ngendap tadi pagi.

MilSu [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang