𝐒𝐞𝐦𝐛𝐢𝐥𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐬; 𝐊𝐨𝐧𝐬𝐭𝐞𝐥𝐚𝐬𝐢

4 3 0
                                    

"𝙎𝙖𝙠𝙞𝙩 𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙪𝙣𝙘𝙪𝙡 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙥𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖𝙞.
𝘽𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣––
𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙘𝙖𝙮𝙖,𝙣𝙖𝙢𝙪𝙣 𝙩𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙨𝙖.
𝙈𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙨𝙖𝙠𝙞𝙩 𝙝𝙖𝙩𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙞𝙨𝙩𝙞𝙢𝙚𝙬𝙖."


●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

"Kalian tahu enggak apa yang gue pikirin, pertama kali, pas lihat Violet?"

Jihan dan Zalfa, kompak, menggelengkan kepala.

"Gue pikir, dia amnesia dong!"

Violet berdecak, saat Nadhira menunjuknya dengan isyarat tangan. Mengambil posisi duduk menyender di badan kursi, serta tangan terlipat di depan dada. Violet sudah siap mendengar celotehan Nadhira yang menggebu-gebu.

"Enggak, enggak, salah. Gue mikirnya dia monster dong! Tapi mirip robot juga, sih," sambung Nadhira.

Jihan merespon dengan tawa elegannya. Hanya Jihanlah yang paling netral di antara mereka.

"Udah, Nad. Anyway, Violet itu sahabat kita. Apa yang dia lakukan, selagi baik, ya, harus didukung," sahut Jihan.

Violet menarik sudut bibirnya tipis. Jihan memang yang terbaik!

"Oh iya. Berarti lo udah berdamai sama orang tua lo, 'kan?"

Pertanyaan dari Jihan mengundang anggukan dari Zalfa dan Nadhira. Keduanya memang sudah dari awal menyimpan empati terhadap Violet. Seolah juga hidup di lingkungan yang serupa, seperti dengan Violet. Mereka semua bersepakat untuk tidak pernah berdebat, jika itu menyangkut masalah keluarga masing-masing.

Saling menghibur dan memberi dukungan, adalah cara untuk menguatkan satu sama lain.

"Vi, sorry," ucap Jihan, menggapai tangan Violet. Dia merasa bersalah, jika membuat Violet diam, seperti sekarang ini.

"I'm okay. Gue udah akur, kok, sama nyokap. Tadi malam, kita juga makan bareng."

Binar di mata ketiga temannya timbul, saat mendengar kabar baik dari Violet.

"Oh ya? Bagus, dong, Vi! Gue seneng deh. Itu artinya, kita bisa ke rumah lo lagi dan pulang besok pagi, 'kan?" seru Zalfa, riang.

Violet mengangguk, sambil tersenyum.

Memang sudah lama, sejak mereka menginap di rumah Violet. Dan itu karena Maya sangat posesif dalam menentukan lingkaran pertemanan untuk Violet. Kalau bukan berasal dari anak-anak yang berada satu strata atau dua tingkat dari Violet, mereka tidak diperbolehkan untuk berteman dengan anaknya. Begitu kata Maya, memarahi Violet saat menyadari kalau teman-temannya tidak sebanding dengan Violet.

"Dih! Itu mah mau lo doang," kata Nadhira, yang disambut kekehan dari Zalfa.

"Beneran, lo udah baikan sama nyokap, Vi?" Jihan bertanya lagi. Bukan tidak percaya pada Violet, tapi karena Jihan yang paling dekat dengan keluarga Prasetya.

Betul, hanya Jihan yang terpilih, sebab memiliki latar belakang yang setara dengan Violet. Ayah Jihan merupakan direktur, pusat perbelanjaan Mai-Mai di Depok. Dan sudah membuka cabang di daerah Ciamis, Jawa Barat.

"Iya, Han. Gue mau mulai dari menerima dulu aja. Bagaimana keluarga gue, cuma gue yang bisa memperbaiki. Toh, enggak ada keluarga yang buruk. Kan, kayak kata lo juga. Keluarga itu tempat menyimpan kenangan yang lebih banyak dari yang lain. Baik dan buruknya keluarga, mereka yang bikin gue belajar, untuk enggak mengulang kesalahan lagi."

Jihan tersenyum senang. Begitu juga dengan Nadhira dan Zalfa.

"Bener, kan, kata gue juga apa. Violet ini udah mirip monster jadi-jadian. Serem, deh!"

Tak butuh waktu lama, sampai kepalan tangan Violet meluncur, meninju lengan bagian atas Nadhira.

"Terus gimana sama pencarian lo, Vi?"

Pertanyaan selanjutnya, datang dari Zalfa. Violet diam sebentar, kemudian menjawab dengan singkat, "Gue berhenti cari."

"What? Berhenti?" Tidak hanya Nadhira saja yang terkejut dengan jawaban Violet. Zalfa dan Jihan pun juga merasakan hal yang sama.

"Kenapa?" lanjut Nadhira, menanyakan alasan.

"Karena mereka semua tidak konstelasi dari mimpi yang udah gue alami!"

Nadhira menggeleng, tidak setuju.

"Hanya karena tidak berhubungan. Lo enggak pengin tahu tentang fakta yang terjadi?"

Violet menarik napas dalam. Dia mengambil buku catatan dan buku paket pelajaran Fisika––lengkap dengan alat tulis––dan menyiapkannya di atas meja, menunggu Pak Dodit datang ke kelas, untuk menjelaskan materi lanjutan dari minggu kemarin.

"Kan, kayak kata lo juga. Sebelum kita berbahagia hati. Kita kudu tahu kemungkinan terburuknya dulu," jelas Violet.

"Tapi, Vi––"

"Bukan gue aja yang beda. Kalian juga sama. Dulu aja waktu gue udah seneng, kalian nyuruh gue buat jangan 'percaya diri' dulu. Sekarang, gue udah nyerah. Sebaliknya, kalian nyuruh gue buat berjuang lagi."

Baik Nadhira, Zalfa, dan Jihan tidak ada yang memberikan respon. Kalimat dari Violet sudah cukup menjadi boomerang untuk mereka.

"Maaf Vi," sesal Nadhira. Dia jadi tidak enak hati dengan Violet––padahal niat awalnya yaitu untuk membantu.

"Enggak usah pikirin gue," ujar Violet cuek, sebab sudah sakit hati.

"Pak Dodit udah masuk. Jangan sampai beliau teriak dan nyalahinnya ke gue," sambung Violet, menunjuk lelaki paruh baya––yang baru saja masuk ke dalam kelas––dengan isyarat bola matanya.

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

'Thank's for reading! See you in the next chapter, guys!'

And, don't forget to leave a vote and comment.


Warm Hug,

ELEANOR JEUNE

Saranghae, Cogan!Where stories live. Discover now