𝐓𝐢𝐠𝐚 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐬; 𝐖𝐡𝐚𝐭'𝐬 𝐖𝐫𝐨𝐧𝐠 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐕𝐢𝐨𝐥𝐞𝐭?

5 5 0
                                    

"𝘼𝙙𝙖 𝙗𝙖𝙣𝙮𝙖𝙠 𝙖𝙡𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜-𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙖𝙞 𝙠𝙤𝙣𝙩𝙧𝙖;
𝙨𝙖𝙩𝙪, 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙙𝙞𝙖 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙢𝙚𝙧𝙖𝙨𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙚𝙣𝙖𝙡 𝙨𝙞 𝙨𝙪𝙗𝙟𝙚𝙠.
𝘿𝙪𝙖, 𝙠𝙖𝙧𝙚𝙣𝙖 𝙥𝙚𝙣𝙙𝙖𝙥𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖 𝙟𝙖𝙪𝙝 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙧𝙚𝙡𝙚𝙫𝙖𝙣 𝙙𝙖𝙧𝙞𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙪𝙗𝙟𝙚𝙠.𝘿𝙖𝙣, 𝙥𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙚𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣𝙖𝙣––
𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙥𝙚𝙣𝙜𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣."

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

Cause your love is so sweet
You are my everything

(Jo Jung Suk – Aloha)

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

"Lo sakit?"

Violet menggeleng lemas, saat ditanya oleh Nadhira. Gadis yang mengecat ujung rambutnya dengan warna abu itu memang tidak bersemangat dari sejak ujian harian––menjelang ujian akhir––mata pelajaran Fisika. Teman-temannya pun hampir berpikir jika Violet tidak serius dalam mengerjakan ujiannya, karena sempat melihat temannya itu sesekali menyandarkan kepala di atas meja.

Sudah satu minggu semenjak 'kejadian dikejar hantu' itu. Atau lebih tepatnya saat keluar dengan Michael, dan bertemu tanpa sengaja dengan Arsen.

Violet sedikit-sedikit jadi mengerti.

Puncaknya yaitu kemarin, saat Violet tidak sengaja bertemu dengan Leo dan papanya––salah satu guru di SMA Someday––di parkiran sekolah. Leo yang dikenal sebagai siswa pendiam dan antisosial ini ternyata adalah lelaki hangat dan sangat perhatian. Terbukti pada saat cowok itu tidak mengizinkan papanya menggunakan motor dan bertukar kendaraan dengannya. Leo pada saat itu mengatakan, jika dia tidak suka melihat papanya menggunakan kendaraan roda dua. Ada banyak ulasan tentang cowok itu yang sangat sensitif jika berhubungan dengan papanya. Dari ketika ada siswa yang mengomentari cara mengajar Pak Angga––Guru Fisika kelas 12––dan banyak hal-hal yang lain.

Violet jadi ingat dengan kata-kata Arsen seketika melihat interasi ayah dan anak itu. Kalau setiap orang punya caranya sendiri dalam segala yang berhubungan dengan cinta dan sayang.

"Vi!"

Violet terlonjak ke belakang. Kaget dengan suara Zalfa.

"Lo kenapa? Banyak pikiran?"

Violet menggeleng, sekali lagi, sebagai jawaban.

"Vi, gue boleh jujur enggak?"

Violet mengangguk. Dia mempersilakan Jihan untuk berpendapat.

"Gue seneng, sih, sama sikap lo yang sekarang. Jadi lebih rajin, dan sabar. Lo juga udah berhenti gangguin anak-anak cewek SMA kita. Bahkan, ada dari kelas lain yang terang-terangan gosipin lo tentang preman sekolah yang dapat hidayah. Belum lagi––"

"Ini enggak pantes buat gue, ya?" putus Violet.

Jihan menggeleng. Sementara Nadhira hanya memejamkan mata, dan Zalfa––cewek itu memandang simpati ke arah Violet.

"Gue enggak peduli pendapat orang soal gue. Selama itu enggak merugikan mereka. Iya ... gue lakuin aja yang mau gue lakuin."

Jihan mengangguk, mengerti. Kini Violet sudah berubah, tidak hanya style-nya. Hati dan cara dia berpikir pun sudah terbuka.

"Semoga aja lo enggak lagi kesurupan atau dimasukkin jin baik," sahut Nadhira, bicara ceplas-ceplos dan langsung disikut oleh Zalfa. Cewek itu memandang Zalfa dengan tatapan, seperti mengartikan, 'emang gue salah?'

"Gue mau lebih logis aja, Nad," jawab Violet, sambil memasukkan bakso urat ke dalam mulut, mengisi perutnya yang keroncongan.

"Terus gimana sama pencarian lo, Vi?"

Pertanyaan Zalfa membuat Jihan dan Nadhira, kompak, memandang ke arah Violet, menanti jawaban dari sang Ketua Geng ala-ala.

"Gue berhenti cari," jawab Violet pendek.

"WHAT?" Nadhira dan Zalfa sontak berteriak. Membuat sebagian penghuni kantin, kini menatap ke arah meja makan mereka, dengan berbagai macam jenis ekspresi. Berbeda dengan Jihan yang menjaga ketenangan dan keanggunannya, meski di dalam hati juga sama-sama menyerukan kekecewaan.

"Untungnya gue enggak salah tebak respon kalian. Jadi enggak kaget, deh," ucap Violet, sambil mengiris menjadi 6 bagian, bakso ukuran jumbonya.

"Emang itu penting?" Nadhira menggelengkan kepala, tidak paham dengan Violet yang sekarang.

"Penting, lah, buat kesehatan jantung gue!" balas Violet, sedikit mengegas di kata terakhir.

Nadhira hanya memutar bola mata. Kehabisan cara dalam berkomunikasi dengan Violet––dia memilih tidak banyak cincong dan menyantap nasi goreng nuggetnya.

"Apa penyebabnya, Vi?" tanya Jihan, tiba-tiba.

"Penyebab gimana, Han?" Violet balik bertanya. Bukan karena tidak paham, tapi pertanyaan Jihan ini bisa saja memiliki banyak arti.

"Ya, itu. Lo tiba-tiba jadi ustazah."

Violet malah cekikikan, menimbulkan kerutan dahi dari tiga temannya.

Mengetahui suasana berubah sunyi. Violet berdeham dengan mengeluarkan suara ekhem, guna mengembalikan situasi kembali normal.

"Jawabannya mungkin karena gue udah capek, kali, ya. Capek melawan semua yang sudah ditakdirkan. Jadi, ya, gue lebih terima keadaan aja dan lebih mensyukuri hidup."

Zalfa berdecak panjang.

"Benar-benar calon ustazah banget!"

"Makasih," Violet meringis kecil, "gue jadi sungkan, padahal bukan santri," sambungnya.

Tidak ada yang berbicara lagi. Karena mereka sibuk dengan makanan dan minuman masing-masing. Hingga Zalfa mengucapkan sesuatu––menyambung obrolan sebelumnya.

"Bye the way, kalau misalkan itu bukan mimpi. Dan tiba-tiba lo ditembak sama seseorang. Apa reaksi lo bakalan sama, saat pertama kali lo menyimpulkan Michael penembaknya? Atau, justru lo bakalan menghindar, jika itu bukan Michael??"

Violet bungkam. Dia mengaduk kuah bakso dengan perasaan gundah. Sementara teman-temannya sedang antusias, menunggu jawaban Violet.

"Hm, sebenarnya ... gue enggak bisa jawab pertanyaan lo. Karena, pertama, gue belum pernah pacaran. Kedua, gue enggak tahu apa itu bedanya cinta atau mengagumi. Jadi gue bakalan pilih ...." ada jeda lama, sebelum melanjutkan, "belajar lebih dulu."

Violet tersenyum pada kalimat terakhir.

Diam-diam seseorang memperhatikan ke meja, tempat duduk Violet. Juga menguping pembicaraan keempat gadis remaja itu. Senyuman terlukis di sudut bibirnya, seperti memberi arti khusus yang hanya diketahui oleh sang empunya.

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

'Thank's for reading! See you in the next chapter, guys!'

And, don't forget to leave a vote and comment.

Warm Hug,

ELEANOR JEUNE

Saranghae, Cogan!Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ