𝐄𝐧𝐚𝐦 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐬 - 𝐁𝐚𝐝 𝐋𝐢𝐚𝐫

5 4 0
                                    



"𝘼𝙥𝙖 𝙥𝙪𝙣 𝙟𝙚𝙣𝙞𝙨 𝙠𝙚𝙗𝙤𝙝𝙤𝙣𝙜𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖.

𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙖𝙨𝙞𝙡𝙠𝙖𝙣 '𝙠𝙚𝙘𝙚𝙬𝙖'.

𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙠𝙚𝙣𝙖𝙡 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙜𝙖𝙞––

𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙪𝙡𝙞𝙩 𝙙𝙞𝙥𝙚𝙧𝙘𝙖𝙮𝙖."

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

"Lo ganti bahan bacaan lagi?"

Leo tidak bergeming dan tetap fokus membaca buku berukuran tebal, karya dari Mikalhail Gorbachev berjudul Perestroika.

Lewat ekor matanya, Arsen memberi isyarat––seolah mengatakan, "Temen lo tuh!" kepada Michael yang duduk di single sofa, sudut ruang kamarnya––kebetulan mata mereka bertemu, dan Michael hanya menaik-turunkan bahu, singkat, sebagai reaksi normal.

Hening.

Dan hanya terdengar suara alunan musik barat yang populer pada tahun 2000-an. Liriknya yang mudah dihafal––berbunyi; 'You must not know about me. I can have another you by tomorrow. So don't you ever for a second get'––itu berhasil mengantarkan Beyonce pada reward––puncak tangga lagu billboard dalam waktu 10 minggu.

Tentu saja, lagu ini sangat istimewa, sampai bisa mengalahkan lagu Umbrella dari Rihanna yang duduk di posisi 2. Siapa lagi yang sengaja memutar lagu––yang sempat booming pada masanya––itu, jika bukan, 'Arsenio Atalla' seorang.

"Ganti," ujar Leo, bosan. Telinganya terasa kebas, setelah mendengarkan lagu yang sama, diputar sebanyak lima kali, oleh sang penggemar lagu dari 'Beyonce' itu.

"Lo, enggak, tahu, seni, Le?" sindir Arsen, memberikan penekanan pada setiap kata.

"Kayaknya lo emang harus belajar sama gue. Nih, ya––" Dan selanjutnya adalah dongeng panjang, yang diisi oleh Arsen, tanpa mengenal koma dan titik.

Leo memejamkan mata, sambil memijit pangkal hidungnya. Kini tidak hanya telinganya saja yang mati rasa, kepalanya pun ikut pusing mendengarkan celotehan Arsen.

Michael yang menyaksikan interaksi dua cucu Adam dan Hawa itu hanya menggeleng sambil terkekeh singkat. Tidak ingin ikut campur dalam cerita 'sejarah penyanyi barat' yang disukai oleh Arsen. Michael memilih mengasingkan diri––menuju balkon kamar, guna menghirup udara segar,

Suasana kota Jakarta saat malam hari dapat dilihat dari atas lantai dua, kamar apartemen Arsen. Tidak hanya binar lampu yang melengkapi perkotaan, namun juga deretan hotel, diskotik, sampai dengan gedung pencakar langit––dapat dilihat dengan jelas di sini.

Michael menarik napas lelah, bersama dengan udara dingin yang memasuki rongga hidung, lalu mengusapkan wajah dengan kasar. Sangat berat hidup menjadi orang lain, namun akan jauh lebih berat, jika dia tetap menjadi diri sendiri. Itulah jargon yang selalu dia ucapkan di dalam hati. Jalan satu-satunya hanya memasang topeng bahagia––dan menyemangati diri.

Memegang teguh pepatah, 'everything will be fine in time'  ternyata bukanlah hal yang buruk. Dia bisa melaluinya dengan meyakinkan diri, kalau suatu saat nanti, akan baik-baik saja. 

 "Belum kenyang makan hati. Sekarang ganti makan angin." 

 Michael memutar kepalanya ke samping, begitu mendengar suara tak asing, yang sukses menyayat prinsip dasar dalam kehidupannya. Dia mengamati teman SMA––sekaligus anak dari sepupu, teman ibunya––sedang duduk di kursi gantung, bahan dasar rotan, serta memangku gitar elektrik di atas paha. 

Sesuai dugaannya. Arsen akan ditendang oleh Leo, jika dia berani menganggu ketenangan cucu dari Albert Einstein itu. Salah sendiri, memilih lawan yang tidak seimbang. Topik pembahasan tentang Seni lagi. Ya, kalah, deh, Arsen! Jangankan Seni––Sana dari girl group Twice, Korea Selatan saja Leo tahu, kok. 

"Gue enggak kalah. Gue cuma ngalah," tandas Arsen, menundukkan kepala, memposisikan jarinya pada senar gitar. 

 Michael tertawa kencang. Dia melupakan kesedihannya sejenak. Atau, lebih tepat––jika disebut sebagai teknik pengalihan suasana. 

"Ada masalah?" 

 Air muka Michael yang semula gembira itu lantas berkerut, datar. Dia mengambil posisi duduk di samping Arsen. Melupakan Leo yang seorang diri di dalam kamar, bersama dengan buku Perestroika-nya. 

 "Ada. Tapi enggak serumit punya lo," balas Michael, tidak jauh pedas dari kata-kata Arsen di awal. 

Terdengar helaan napas, berbarengan dengan senar gitar yang dipetik, membunyikan nada kunci D mayor, "Kalau lo mau bahas itu. Bukan gue orangnya," kilah Arsen, yang langsung mendapatkan tawa sinis. 

 "Apa pun jenis kebohongannya. Selama masih melibatkan Hamba Allah. Sebutannya tetap dosa," ujar Michael, bijak. 

"Gue tahu, Mik." 

"Kalau lo tahu, kenapa enggak jelasin aja? Sampai kapan, lo sembunyi sebagai cowok 'Pemberi Harapan Palsu' di depan anak-anak?" 

 "Masalahnya––" 

 "Masalahnya lo enggak punya keberanian," putus Michael, berbicara benar adanya. 

"Buat apa susah-susah memperlihatkan. Kalau, mereka cuma percaya––apa yang mau mereka dengar," sambung Arsen, kemudian bangkit berdiri. Memeluk badan gitar kesayangannya, lalu memutuskan masuk ke dalam kamar––tujuannya bukan berdebat, tapi untuk menghibur diri. Arsen tidak ingin gitarnya menjadi sasaran amarah. Maka dari itu, dia lebih memilih menghindar. 

 Untuk kesekian kali .... 

Sementara itu, Michael––yang masih duduk, ditemani malam––mengintip dari celah jendela. Memandang Arsen yang mengambil tempat di sisi, paling ujung, berjauhan dengan Leo––cowok berkacamata itu masih tidak berpindah posisi dari tempatnya membaca. 

 Jika Michael mendapatkan tugas mengarang cerita pendek. Maka, dia akan memilih, menceritakan awal pertemuan dia dengan dua lelaki, yang dibersamakan oleh takdir kejam, dan memiliki alkisah yang kelam. 

Lahir dan berpijak pada bumi yang sama. Belajar di kelas dan sekolah yang sama. Jangan sampai, mereka mencintai orang yang sama pula. 

Jangan sampai! 

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

'Thank's for reading! See you in the next chapter, guys!'

And, don't forget to leave a vote and comment.

Warm Hug,

ELEANOR JEUNE

Saranghae, Cogan!Where stories live. Discover now