𝐓𝐮𝐣𝐮𝐡 𝐁𝐞𝐥𝐚𝐬; 𝐀𝐥𝐨𝐧𝐞, 𝐁𝐮𝐭 𝐍𝐨𝐭 𝐑𝐞𝐚𝐥𝐥𝐲

5 3 0
                                    

"𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞𝙖𝙣.
𝙈𝙚𝙧𝙪𝙥𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙡𝙞𝙢𝙖𝙩 𝙟𝙞𝙩𝙪––
𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙞𝙣𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙥𝙞."

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

Violet menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Dengan posisi terlentang, dia melepaskan buhul dasi, yang seperti mengikat bagian lehernya.

Masalah demi masalah muncul, bergentayangan di kepala. Tidak seorang pun yang dapat membantu Violet, karena semua beban itu hanya bersumber dari dirinya sendiri.

Keinginan untuk mencapai happy-ending yang sempurna. Mimpi yang tak terduga. Hingga ekspektasi yang mengubah segala bentuk suasana––sedih, bahagia, bercampur kecewa––dan seharusnya Violet tahu. Kalau dari setiap pencapaian, harus ada yang dikorbankan. Dan setiap usaha, selalu ada gagal 'pangkat lima' yang turut serta dalam bagian kisah hidupnya.

Bukan salah kamu. Bukan salah kamu. Bukan salah kamu, sebut Violet, masih dengan kedua mata terpejam dan lengan yang bertumpu di atas.

Tiba saat spring bednya bergerak-gerak––tanda ada seseorang yang duduk di tepi, tempat tidur. Violet tetap tidak mengubah posisi berbaringnya.

Mengendus wangi produk parfum dari Louis Vuitton yang mencampurkan ragam bunga dan sentuhan mandarine yang segar. Violet yang memiliki indra penciuman sensitif itu tentu tidak bodoh dalam mengingat, jika ini adalah merk parfum yang kerap digunakan oleh sang ibu––setiap hari Rabu, atau, tepatnya, pada saat makan malam rutin bersama kolega, sesama modelling––bahkan, tidak hanya parfum yang beliau jadwalkan, setiap harinya. Pakaian, gaya rambut, aksesori,dan perhiasan––emas, permata, dan kawan-kawannya––tidak luput dari perhatian sang Mantan Ratu Kecantikan Indonesia, tahun 2001 itu.

"Kalau Mama mau pamer foto vulgar lagi, bukan ke aku, orang yang tepat buat Mama tunjukkin," ujar Violet ceplas-ceplos.

Biarkan dia melupakan janjinya––menjadi anak baik dan berbakti––dengan Michael. Toh, lelaki itu juga tak menjawab, ketika ditanya perihal; alasan memintanya untuk berubah.

Tidak mendengar balasan, juga tanda-tanda Mamanya berpindah tempat. Violet memutuskan untuk memindahkan lengannya, untuk memudahkan penglihatan––terkejut hanya beberapa detik, saat Violet melihat Maya bermandikan air mata di wajah.

"Bukannya riasan mahal Mama, lebih berharga, dari sekadar menangis?"

"Apa kamu bakalan terusmemandang Mama––seperti apa yang Papamu juga 'hanya' lihat?" Violet mengalihkan arah pandang, ke arah poster bergambar boyband 'EXO' lengkap, yang dipasang di sudut kamar, dekat meja belajarnya. Ayo senyum, itu ada cogan, Violet berusaha tidak mengindahkan tatapan sendu Maya.

"Apakah dengan perpisahan,bisa membuat kamu memaafkan 'kami?'"

Violet tersenyum miring. Jujur, dia tidak mau terus-terusan menjadi anak yang pembangkang. Dia ingin mempraktikkan kata-kata dari Leo sekarang, dan mengambil rubik pemberian cowok itu. Juga teringat kata-kata Arsen, yang sangat bijak, walau tak seimbang dengan sikap jailnya. Michael, lelaki itu juga mengambil peran, untuk mengubah sudut pandang orang-orang, tentangnya.

Tapi ... itu semua sulit dilakukan, karena emosi mengambil alih nurani, dan membangkitkan segala macam rasa; tentang iri, sepi, sedih, dan hancur.

"Daripada memperbaiki.Kenapa Mama enggak coba ingat-ingat lagi, apa yang sudah Mama lakuin ke kita?Aku ... dan, adik?"

Violet gagal.  Dia sudah menangis, dan Leo siap mengatakan––bahwa, setiap wanita itu memiliki hobi menangis.

Maya pun juga ikut diam, selalu melakukan yang sama, menyalahkan trauma dari kesalahan yang dibuat sendiri.

"Apa yang diharapkan dari anak berusia delapan tahun yang kehilangan saudara kandung, saat kedua orang tuanya tidak ada di rumah? Hm?"

Maya mengusap air mata, dengan gerakan kasar.

"Mama lupa, kalau hari ini ada dinner, sekalian rapat pemantapan konsep rainy season untuk majalah Voza."

Seperti biasa. Maya selalu menghindar, dari masa lalu.

"Jangan tidur malam-malam.Kamu bisa kena insomnia dini. Jadi, biasakan istirahat yang cukup."

Setelah itu, Maya mendekatkan tubuh, untuk mencium kening Violet––yang sebenarnya, tidak sama sekali, membantunya menurunkan emosi.

"Mama, enggak ada,perasaan menyesal, gitu?"

Maya membatu, saat dirinya baru memutar tubuh, membelakangi Violet.

"Sebaiknya kamu fokus untuk mempersiapkan ujian akhir semester. Beberapa minggu lagi, adalah hari penentu. Jika kamu masih merangkak di balik kenangan itu. Mama tidak bisa membantu, dan terpaksa, kamu harus menuruti papa kamu, untuk pindah ke Australia."

Kalimat panjang dari Maya adalah perkataan terakhir yang Violet dengar dari mulut ibu kandungnya sendiri. Tentu saja, itu bukan kalian menenangkan yang biasanya kalian dengar, saat berbicara dengan sosok yang sudah mengandung, melahirkan, tapi tak selalu ikut membesarkan.

Dan kalimat tersebut memang tidak selalu diucapkan oleh Maya. Wanita itu tidak selalu buruk dalam pikiran Violet. Termasuk, papanya.

Hanya butuh waktu, untuk menerima. Dan mengingat lagi peribahasa; "Sejahat-jahatnya harimau,tak akan memakan anaknya sendiri".

Sebelum Maya hilang dari pandangan Violet. Remaja itu sudah lebih dulu menghentikan langkah kaki wanita usia 40-an itu.

"Aku lapar. Mama bisa masak sebentar, sebelum berangkat, 'kan? Aku rindu masakan capcai, dengan campurankeju mozarella yang biasa dibuat Ratu Kecantikan," ucap Violet, memulai dengan rencana awal, yaitu menerima.

●♡。♥●♡。♥●♡[-_-]╠♥

'Thank's for reading! See you in the next chapter, guys!'

And, don't forget to leave a vote and comment.


Warm Hug,

ELEANOR JEUNE

Saranghae, Cogan!Where stories live. Discover now