21

19 7 0
                                    

Telaga hijau menyejukkan mata. Udara segar tidak terbatas, memberi perasaan nyaman. Bernapas pun menjadi lebih segar. Tiga alat pancing berjajar rapi, dengan jarak tiga meter.  Termos air berisi kopi di buka, seketika asap mengepul keluar.

Suara orang menyeruput terdengar. Kedua pemuda di samping kanan dan kirinya menatap tajam pemuda yang duduk di tengah. Memancing membuat orang menjadi lebih sensitif dengan suara.

"Setelah ini kalian kembalilah ke markas kita, buat persiapan sebaik mungkin. Jangan lupakan rencana yang sudah kita bahas tadi. Ketemu lagi pas gue udah ngasih sinyal, "

"Lu disini sendirian, sementara kita balik. Gue ga mau. " Pemuda di samping kirinya menolak.

"Gue ga apa, itung-itung ini juga hukuman kalian. "

Alat pancing di letakkan pada penyangga dengan kasar. "Gue terima apapun hukuman lu asal jangan misah. " Giliran pemuda di samping kanan angkat bicara.

"Gue masih ada kerjaan. Kalo kalian mau cepet kita kumpul lagi, kerja keras. Setelah ini selesai kita bakalan barengan terus sampe lumutan. Gue janji, " Pemuda itu mengacungkan kelingking pada kedua tangannya.

Ketiganya saling menautkan jari kelingking. Pemuda di samping kanan berjalan mendekat ke pemuda di samping kiri. Mereka berhadapan membentuk segitiga. Kemudian saling berpelukkan sebagai ucapan perpisahan.

Mereka menumpukan tangan satu sama lain. Manik ketiganya menatap gelang persahabatan mereka kemudian tersenyum tipis. Tidak ada kata gagal dalam kamus panduan mereka. Kali ini pun mereka sangat optimis untuk menang dan dapat bersatu kembali.

❄❄❄

"Arjuna kesini kamu! " Suara bariton seorang pria bertubuh kekar menyapa.

Arjuna segera berjalan menghampiri asal suara. Sebenarnya Arjuna juga malas jika pria berkumis tebal itu tidak memelototinya, hingga kedua bola matanya hampir menggelinding. Kedua tangannya tersimpan di balik punggung. Tangan kirinya menggenggam pergelangan tangan kanan.

"Saya tadi nyuruh kamu apa? " Pria itu menatap tajam Arjuna, seakan ingin membolongi kepala anak itu.

"Saya sudah atur arena latihan, lagipula waktu saya masih banyak. Berlatih menembak sebentar tidak akan merugikan siapapun, " Jawab Arjuna sekaligus membela diri.

"Strategi murahan seperti itu anak lima tahun pun bisa memecahkannya.  Bisakah kamu berhenti bermain-main? Latihan akan mempengaruhi hasil, jika begini terus semua pasukkanmu tidak akan bertahan. "

Arjuna merotasikan matanya. Dia membuang nafas dari mulut, bibirnya bergetar. Ocehan Ian sangat membosankan. Telinganya gatal, dia ingin melepaskannya sekarang juga.

"Jika hanya ingin bermain keluarlah dari sini, " Ian menyerah, Arjuna menolak bekerja sama dengannya. Si kepala batu yang menyebalkan. Andaikan bukan putra Leo, sudah di pastikan dia akan memberinya hukuman berat.

Tidak perduli, Arjuna melenggang pergi. Ian menghela napas panjang sembari memijat tulang hidungnya. Melatih Arjuna adalah sebuah kemustahilan. Dia hanya mau melakukan apa yang dia inginkan.

Di tengah jalan Arjuna tidak sengaja berpapasan dengan Daniel. Si sulung tampak sangat menikmati pekerjaannya. Dia memang berpengalaman mengurus perusahaan. Orang-orang tampaknya mulai menyukai Daniel. Bukan hanya kinerja yang bagus- wajah tampan serta sikap ramah membuat mereka menjadikannya topik terhangat.

Belum sempat api cemburu teredam. Jinendra lewat dengan wajah datarnya. Pemuda itu di kelilingi banyak orang. Seperti induk bebek. Sudah bisa di tebak bukan? Jinendra tak kalah poluler. Meski wajahnya akhir-akhir ini selalu muram. Tapi caranya bekerja sangat terampil dan cekatan. Masa depan perusahaan tidak perlu di khawatirkan lagi.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now