03

73 19 0
                                    

Pagi ini rumah kembali hidup dengan teriakan. Bintang utama kali ini bukan perdebatan tidak berbobot si kembar. Tidak di sangka, si manislah yang menghidupkan suasana pagi hari. Bocah itu tiba-tiba terserang demam. Sementara ketiga kakaknya harus pergi hari ini.

Elcio mengatakan dirinya baik-baik saja. Meski begitu seorang kakak tidak akan tega meninggalkan adiknya yang sedang sakit sendirian di rumah. Arjuna dan Jinendra hanya bisa menjanjikan pulang lebih awal. Hari ini mereka harus presentasi. Sedangkan Daniel hari ini dia ada rapat dengan klien besar. Pemuda itu juga tidak bisa absen.

Berat hati, mereka meninggalkan si bungsu. Daniel berjanji akan pulang setelah rapatnya selesai. Begitu pula dengan Arjuna dan Jinendra mereka berjanji pulang setelah urusan penting mereka selesai.

Pemuda manis itu terbungkus selimut. Plaster penurun panas untuk anak-anak menempel apik pada dahi sempitnya. Elcio menekan ibu jari tangan kirinya. Wajah penuh binar Devan dan Dirga menyapa.

"Paman nemuin gue. " Ucap Elcio singkat. Mampu membuat kedua pemuda seumurnya tersedak oleh makanan yang sedang mereka santap.

"Shadow juga udah nyadarin keberadaan gue. Kebetulan banget ya, " Imbuhnya.

Elcio tersenyum penuh arti. Sedangkan kedua pemuda di depannya hanya bisa menelan kering saliva. Orang menggemaskan belum tentu tidak bisa berlaku kejam. Semakin di amati, baik Devan dan Dirga langsung memahami arti senyuman itu.

"Gue yakin kalian tau apa maksud gue, " Elcio mematikan sambungan mereka sepihak.

Kepalanya kembali berdenyut kencang. Punggung tangannya menempel pada pergelangan leher, memeriksa suhu tubuhnya. Bukannya membaik, dia merasa demamnya semakin memburuk. Matanya berair, dia tidak menangis. Air mata keluar begitu saja akibat suhu tubuhnya.

Kelopak matanya kian memberat. Wajah pucat pasi serta tubuh bergetar hebat membuat si manis terlihat sedikit mengerikan. Pemuda itu memutuskan untuk tidur sembari menunggu penghuni rumah lainnya pulang.

Aroma obat-obatan menusuk indra penciuman Elcio. Terhitung enam jam tertidur, sekarang jarum jam telah menunjukkan pukul dua belas siang. Perlahan kedua maniknya terbuka. Siluet buram pria paruh baya bagaikan alat kejut jantung.

"Tidak. Bang Niel, bang Jinan, sama bang Juna, mereka dimana? "

Mengabaikan rasa pening yang menghantam. Elcio bangkit dari tidurnya. Kepalanya bergerak mencari sosok sang kakak. Dia harus menelan pil kekecewaan, kala tak berhasil menemukan satu pun dari ketiga kakaknya.

Adrian melangkah mendekat. Tangannya menarik sebuah kursi. Mereka duduk saling berhadapan. Mata sendunya menatap lembut pemuda yang sudah dia besarkan sejak hari pertama melihat dunia. Sungguh dia menyayangi Elcio seperti putranya sendiri.

"Paman tidak melarang sama sekali. Kamu boleh tinggal dengan keluarga aslimu, tapi kamu juga harus ingat. Hanya paman yang bisa mengobatimu disaat kamu sakit. " Adrian berucap.

Si manis ingin mengelak. Tapi semua ucapan Adrian benar adanya. Dia bukan sepenuhnya manusia. Hidupnya juga bergantung dengan lempengan besi di sertai kabel-kabel yang menjelma sebagai uratnya. Half android, itulah jati dirinya.

"Kalau begitu kenapa paman tidak pindah bersamaku saja? "

"Paman belum membicarakannya dengan bibimu, " Jawab Adrian.

"Kalau begitu segera bicarakan dengan bibi. Kumohon paman aku ingin tinggal bersama mereka. " Kedua mata Elcio berkaca-kaca. Telapak tangannya menyatu, dia sungguh berharap sang paman mengabulkan permintaannya.

Tak mampu melihat tatapan memohon itu lagi, lantas Adrian berkata. "Baiklah paman akan bicarakan dengan bibimu. "

Pintu kamar terbuka secara kasar. Sosok pemuda lengkap dengan setelan jas kantor yang kini sudah tidak berbentuk lagi berlari memeluk Elcio. Si sulung segera meninggalkan semua pekerjaannya saat sang paman memberitahukan kondisi si bungsu kian memburuk.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now