07

51 14 0
                                    

Semilir angin serta cahaya menyerang lima kelompok pemuda. Membuat kelimanya satu persatu membuka mata mereka. Hanya ada pepohonan di sana. Sepertinya mereka berada di dalam hutan belantara. Elcio bangkit dari tidurnya menghitung jumlah mereka.

"Bang Niel ga ada, " Panik Elcio. Keringatnya mulai bercucuran keluar. Dia takut si sulung tidak dapat mengatasi godaan harapan.

"Abang disini, " Sahut Daniel dari belakang Elcio.

Elcio berbalik, pemuda itu menubrukkan dirinya kepada si sulung. Sungguh dia sangat khawatir, hingga ingin menangis rasanya. Daniel membelai lembut surai si bungsu. Memberikannya ketenangan.

"Gue ga akan ninggalin bayi abang satu ini, " Bisik Daniel.

Tanpa ada yang melihat, pemuda mungil itu tersenyum manis. Dia bukan orang yang mudah nyaman, tingkat kesiagaanya selalu berada di atas rata-rata mengalahkan anjing pemburu. Berbeda dengan lainnya, ketiga kakaknya membuatnya mudah percaya dan menyayanginya.

"Pelukan teletubbiesnya udah yok, cari tempat berlindung dulu. " Dirga menarik kerah baju Elcio menjauh.

Layaknya anak kucing, mau tidak mau Elcio menurut. Mereka berjalan membentuk tiga barisan. Keenamnya tetap waspada, jika saja ada bahaya datang. Elcio, Devan, serta Dirga berjalan di barisan depan. Dengan alasan mereka lebih kuat. Meski kenyataannya, agen terlatih juga kuat. Terlebih lagi Jinendra yang gemar berlatih. Elcio yang merupakan human-android pun belum tentu menang melawannya.

Lima jam berjalan mereka masih tidak menemukan tempat yang bagus untuk singgah. Hari sudah mulai gelap, bahaya jika mereka terus berkeliaran di dalam hutan. Bisa-bisa mereka menjadi makanan empuk bagi hewan buas di sana. Belum lagi tumbuhan beracun.

"Capek banget, istirahat sebentar bisa kali. " Usul Arjuna. Kakinya terasa menghilang karena jalan terlalu jauh.

"Yaudah istirahat lima menit disini. " Elcio menyetujui usulan Arjuna. Dia tak mungkin memaksakan sang kakak. Ketiga kakaknya manusiawi seutuhnya, tak seperti dirinya.

Elcio bertukar tatap dengan Devan. Kepalanya menoleh menatap jalan di depan mereka sekilas, memberikan kode kepada sahabatnya. Devan menggangguk. Pemuda itu menepuk pundak Dirga pelan.

"Lu jagain mereka, gue sama El cek jalan. Siapa tau di depan ada petunjuk, "  Ucap Devan.

Sebelum melayangkan protes, Elcio lebih dulu membungkam mulut Dirga dengan tatapan memohon.

"Lima menit balik, " Dirga bersedekap dada kesal. Pemuda itu melengos ketika Elcio memekik gemas.

Keduanya berlari, Elcio memimpin di depan. Dalam sekejap mata keduanya menghilang di balik rerumputan. Dirga bersandar pada salah satu pohon, tak jauh dari Daniel. Layaknya anak hilang, dia menyembunyikan wajahnya di lipatan kaki.

Human-android memiliki insting yang sangat kuat, dia tidak perlu khawatir jika bahaya mengincar. Mau tertidur sekalipun, dia tetap akan bangun jika sensornya mendeteksi sebuah ancaman.

Buktinya saat Arjuna ingin menepuk pundaknya, menganggetkan pemuda tersebut. Tangannya sudah di cengkram terlebih dahulu selebum mendarat. Cengkraman Dirga sangat kuat. Arjuna mengaduh kesakitan.

Jinendra tertawa keras, ekspresi Arjuna sangat berlebihan. "Makanya jadi orang tuh jangan usil. "

Arjuna menggerutu tak jelas, lalu kembali duduk di tampatnya semula. Sebuah pelajaran untuk tidak mencari perkara pada Dirgantara. Lagi pula sejak awal, pemuda itu terlihat sudah mengibarkan bendera perang kepada ketiganya.

Suara gesekkan sepatu dan rumput terdengar. Dirga bangkit berdiri, bersiaga jika saja suara itu bukan berasal dari Elcio dan Devan. Wajah penuh keringat Devan menyapa, tanpa diikuti kehadiran Elcio.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang