09

32 11 0
                                    

Rintik hujan membasahi bumi. Suara gemuruh saling bersautan terdengar sangat menyeramkan. Seolah langit dapat merasakan ketegangan yang tengah terjadi. Jemari Jinendra bergerak sangat cepat. Dia hanya memiliki waktu dua puluh menit untuk membenahi kabel dan sistem yang lecet. Jika lebih dari itu, sudah dapat di pastikan Elcio tak akan bangun selamanya.

Enggan mengganggu, Arjuna melampiaskan ke khawatirannya dengan menggigiti kuku. Hingga hampir patah. Sementara Daniel, pemuda itu sangat misterius. Tak ada satu pun ekspresi pada wajah tampannya. Pikirannya terlalu rumit untuk di terjemahkan oleh otaknya.

Dirga menenggelamkan kepalanya di sela kaki. Tangannya merangkul kakinya erat. Kemudian Devan, pemuda itu sama sekali tak bisa duduk diam. Dia terus berjalan mondar-mandir layaknya sedang menyetrika lantai. Dua puluh menit seperti dua sekon.

Keringat Jinendra bercucuran tanpa henti. Sesekali dia mengusapnya menggunakan kaos lengan panjang yang dia gunakan. Suhu dalam ruangan meningkat pesat, meskipun suhu udara sebenarnya mendekati nol derajat. Dia mencoba mempertahankan fokusnya pada layar laptop.

Usaha Jinendra nampaknya belum cukup. Waktu terus terkikis habis hingga hanya menyisakan dua digit detik. Pemuda itu tak menyadari, dia melupakan kenyataan bahwa waktu berjalan lebih cepat dari dugaan.

Sebelum terlambat, Devan mendorong tubuh Jinendra ke samping. Menggantikan posisi Jinendra, menghadap layar laptop. Pemuda itu kembali mengaktifkan sistem pada tubuh Elcio.

"Lu gila? Gue cuma tinggal dikit lagi beres. Kalo kaya gini malah bisa ngerusak sistemnya! " Emosi Jinendra meluap. Dia masih belum menyadari apa yang sebenarnya terjadi.

"Lu ga liat tadi waktunya udah habis! " Devan ikut terpancing emosi.

Tubuh kejang Elcio menampar mereka agar berhenti bertengkar. Meskipun hanya menunjukkan ekspresi datar, mereka yakin kini si pemuda mungil itu sedang kesakitan. Dirga semakin terisak kencang, mengacaukan konsentrasi Devan. Tak bisa di salahkan, sedari kecil Dirga memang anti melihat Elcio kesakitan.

Daniel tergerak, lama kelamaan dia tidak tega melihat wajah penuh air mata Dirga. Penuh ragu, pemuda itu menarik lengan yang lebih muda. Dirga sama sekali tidak memberontak. Mungkin karena pikirannya kini sedang kalut. Daniel dan Dirga keluar dari ruangan, tak ingin menambah ketegangan. Arjuna mengikuti jejak keduanya. Dia tak sanggup melihat sang adik kesakitan.

Tersisa Jinendra dan Devan, keduanya sama paniknya. Hanya saja sebagai yang lebih tua, Jinendra berusaha lebih kuat. Berkuliah di jurusan robotik sangat membantunya. Terlebih lagi dia cukup akrab dengan semua hal tentang human-android.

Aliran listrik bertegangan ringan menyetrum tubuh Elcio. Intensitas kejangnya semakin lemah. Hingga tak tersisa sama sekali. Baik Jinendra dan Devan tersenyum lega. Untuk saat ini keadaan pemuda itu jauh lebih baik.

Rintihan Elcio mengalihkan perhatian keduanya. Kedua matanya perlahan terbuka. Semakin lebar saat kesadarannya telah terkumpul sempurna.

"Sakit? " Pertanyaan yang seharusnya sudah paham apa jawabannya, keluar dari mulut Jinendra.

Gelengan kepala lemah Elcio menjawab. "Udah biasa, " Ucapnya kelewat santai.

"Gue curiga sensor rasa sakit lu rusak, " Mata Devan bergerak keatas. Telunjuknya menusuk-nusuk pipi gembil Elcio.

Bibir Elcio mengerucut kesal. Dengan cepat dia menolehkan kepalanya, lalu menggigit kecil telunjuk Devan. Pemuda itu langsung menarik kembali telunjuknya, sebelum menghilang.

"Yang lain mana? " Suara serak Elcio kembali terdengar.

"Ada di luar. Si Dirga nangis kejer tadi, " Jawaban Devan mengundang senyum tipis Elcio.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now