15

25 7 0
                                    

Kicauan burung menggema memecah suasana canggung. Ponsel super canggih, rakitan sang pemilik beralih tangan. Devan berpaling, menatap penuh tanya. Elcio hanya tersenyum tipis. Membiarkan sahabatnya mengetahui jawabannya sendiri.

Tombol play di tekan, sebuah video terputar apik. Awalnya Devan masih belum menyadari apa maksud dari video tersebut. Sepersekian menit kemudian, kepalanya bagai di hantam batu besar. Dia mencoba tidak mempercayai apa yang baru saja dia lihat dan dengar.

"E-el, " Bibir Devan bergetar. Sorot sendu meminta penjelasan.

"Maafin gue, sebenernya gue udah sadar sasaran utama Yovin itu lu sama Dirga. Dan dia cuma ngaku-ngaku jadi kakak lu. Alasan dia ngelakuin itu gara-gara gue selalu ngerusak rencana dia. "

"S-soal gue sama Dirga, l-lu juga tau? "

Anggukan lemah dua kali, menampar pipi Devan. Dia mengerti Elcio memang mempunyai segudang rahasia. Tapi hal besar seperti ini tidak layak di sembunyikan. Selama bertahun-tahun hidup bersama. Kenyataan Dirga merupakan saudara sepupunya cukup mengejutkan.

Bukan hanya itu, selama ini dia mengira dirinya dan Dirga sama seperti Elcio. Kenyataannya seluruh tubuh dari pemuda itu adalah serangkaian besi, kabel, serta sistem. Para ilmuan memang sangat pintar, berbekal ingatan bocal kecil yang sudah sekarat. Keduanya di berikan hidup baru, dengan perasaan serta pikiran layaknya manusia biasa.

Sentuhan hangat menggenggam tangan Devan, berusaha memberikan sedikit ketenangan. Devan menarik tangannya kembali. Ponsel telah kembali ke tangan si pemilik. Manik kembarnya enggan menatap Elcio yang tengah menatapnya sendu.

Elcio meraih kedua tangan Devan. Memaksanya menatap iris coklat kelam miliknya. Tanpa dia sadari tangannya berkeringat. Baru kali ini dia gugup saat sedang berhadapan dengan salah satu sahabat terbaiknya.

"Van, maafin kalo gue egois. Tapi waktu gue udah ga lama lagi. Obat gue sekarang cuma tinggal tiga biji, itu artinya paling lama cuma sembilan hari gue bisa bertahan. Lu adalah orang yang paling gue percaya di dunia ini. Gue mau titip mesin hologram ciptaan gue. " Elcio berhenti sejenak, menarik napas dalam.

"Di saat hari itu tiba, gue bakal pergi. Gue ga mau jadi beban kalian. Dan lu juga harus janji jangan kasih tau hal ini sama Dirga dulu, emosinya ga stabil. Gue takut dia ngelakuin hal bodoh, "

Kehangatan menyelimuti tubuh bergetar Elcio. Air mata luruh, berdesakan membasahi pipi. Kedua pemuda itu menangis, dengan alasan yang sama. Perpisahan tidak pernah indah, terlebih jika setelah berpisah mereka tak akan pernah bisa bertemu lagi. Mereka saling berpelukan, berusaha memberikan ketenangan satu sama lain.

"El, gue janji gue bakal nyari jalan keluarnya secepat mungkin. Gue ga mau lu pergi, " Ucap Devan di sela isakkannya.

Elcio menyeka air matanya kasar. Senyum terpaksa terukir pada wajah manisnya. Kemudian tangannya terangkat menghapus air mata Devan. Hatinya berdenyut kencang saat melihat orang yang dia sayangi bersedih.

"Perasaan terakhir kali lu nangis, pas umur tujuh tahun. Masih keliatan imut, pengen ngunyel. Sekarang keliatan jelek banget kalo nangis, ingusnya kemana-mana. " Elcio menggoda Devan, supaya pemuda itu sedikit terhibur. Meski tetap kenyataan tidak bisa di ubah.

Devan menyeka hidungnya. "Rese banget sih lu! Gue bakal pesen sama malaikat pencabut nyawa, pas nyabut nyawa lu nanti biar di persulit. " Pemuda itu mendelik sebal.

"Dih, mana bisa? Kan gue yang ketemu duluan. " Candaan itu tak terdengar lucu. Mungkin jika keadaannya tidak seperti ini, keduanya sudah terhanyut dalam tawa.

Devan merentangkan tangannya, membiarkan Elcio bersandar kepadanya. Hijau pepohonan tampak sangat menarik. Tangan Devan melingkar, memeluk pinggang mungil sahabatnya. Mereka tidak bergerak sedikitpun. Pandangan kosong, menandakan pikiran keduanya telah melayang entah kemana.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ