20

28 7 0
                                    

"Bagaimana? " Leo merangkul pundak si sulung dan putra ketiganya sembari memperlihatkan gedung tempatnya bekerja.

"Nanti setelah papa tua, kalian yang akan mewariskan semua ini. "

"Jinendra dan Elcio? " Bukan si putra kedua yang bertanya, melainkan Daniel.

"Dari kemampuannya Jinendra akan mewariskan laboratorium mama kalian. Kalau Elcio nanti papa pikirkan lagi. Papa belum mengenalnya lebih dalam. " Jawab Leo, matanya menerawang kearah langit biru. Mengingat kejadian satu hari lalu.

Pintu terbuka menampakkan Grace beserta saudara kembarnya, Gevion.  Serentak keduanya memberi hormat kepada Leo. Mereka memberikan sebuah berkas secara bergantian. Leo mengangguk dua kali sembari membalik setiap halaman pelan.

Merasa tidak ada yang perlu di ubah, Leo menandatangani berkas tersebut. Lembaran kertas tersebut berisi rincian kebutuhan yang di perlukan untuk melaksanakan rencana. Daniel memiringkan kepala, mengamati setiap gerakan sang ayah.

Leo memberikan kembali berkas Grace. Lalu berganti membuka berkas yang di bawa oleh Gevion. Dahinya berkerut. Tangannya tampak berat menandatangani berkas tersebut. Dia kembali menarik tangannya sebelum tinta mengotori kertas putih. Berkas tersebut terhempas ke lantai secara kasar.

"Saya sudah bilang, berkas harus di cek baru kasih ke saya! " Suara serak Leo meninggi.

Dengan tubuh bergetar Grace mengambil berkas tersebut. Kepalanya menunduk dalam. Tidak berani menatap Leo dengan mata elangnya.

"M-maafkan s-saya t-tuan, "

Leo menghela napas kasar. "Perbaiki, baru kasih ke saya lagi. Sampai saya menemukan kesalahan, jangan harap terlepas dari hukuman. "

Setelah kepergian si kembar, Arjuna menghempaskan diri ke sofa. Bersandar santai menikmati atmosfer menegangkan yang belum luntur. Masa bodo, dia tidak perduli dengan asisten ayahnya. Hukuman memang pantas untuk mereka. Sangat ceroboh.

Daniel menggenggam lengan kekar Leo. Meredakan hawa panas pasca ledakan. Berkat sentuhan sang putra, Leo dapat sedikit tersenyum. Sekejam apapun dia di mata orang lain. Leo tidak ingin anaknya mengerti perangainya sesungguhnya. Biarkan mereka memiliki kenangan indah akan figure sang ayah.

Teh hangat mengalir menghangatkan tenggorokan Jinendra yang sedikit gatal sejak pagi tadi. Matanya bergerak aktif melihat gerak-gerik ayah dan kedua saudaranya. Ketiganya memiliki emosi yang berbeda. Sangat menarik menurutnya.

Tok tok tok...

Suara ketukan pintu terdengar. Tak lama kemudian Gevion masuk memberitahukan bahwa perwakilan Crystal telah datang. Hari ini jadwal utama mereka adalah bertemu guna bekerja sama dengan Crystal.

Seorang pria kepala tiga masuk penuh wibawa. Setelan jas hitam legam serta kumis tipis membuatnya tampak semakin gagah. Wajah blasteran membuat Leo tidak ragu lagi. Dia juga pernah bertemu dengan putra petinggi Crystal dulu. Tidak banyak yang mengetahuinya. Anak itu sangat di jaga privasinya oleh sang ayah.

"Perkenalkan saya Rigel, putra Rayn. Sekaligus pemimpin Crystal, " Pria itu mengulurkan tangannya.

Leo membalas hangat jabatan tangan Rigel. "Tidak salah lagi, sangat mirip dengan Rayn. "

"Tentu saja paman, " Tak kalah ramah, Rigel sangat mudah di ajak bekerja sama.

Senyum, ciri khas Rayn yang ternyata di wariskan kepada putra semata wayangnya. Dalam situasi terburuk pun, Rayn tetap tersenyum. Saat di tanya mengapa. Dia menjawab, bahwa senyuman merupakan hal paling mengerikan dalam dunia gelap. Tampak ramah walaupun sebenarnya tidak sama sekali.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now