27

19 4 0
                                    

Buah apel di padu susu hangat melengkapi sarapan pagi Elcio. Tebak siapa yang mengupaskan apel? Hingga sekarang saja dia masih mengganggapnya sebagai mimpi. Tiga puluh menit yang lalu setelah ketiga kakaknya pergi seorang pria jakung datang, mengenakan kemeja rapi di lapisi jas biru.

Semua keperluan dan barang titipannya di tata rapi. Matanya bahkan tidak bisa berkedip melihat setiap inchi pergerakan pria itu. Setelah selesai berbenah, orang yang biasa dia panggil "papa" menghampirinya. Dia bertanya apakah dia sudah makan, yang di jawab anggukan kecil. Suara bass ayahnya kembali menginterupsi. Dia bertanya pada Elcio buah apa yang ingin dia makan. Pemuda manis itu menunjuk acak buah yang ada di samping ranjangnya. Dari sekian banyak, telunjukknya menunjuk buah apel.

Dalam sekejap mata potongan buah apel siap di santap. Leo juga menuang susu ke gelas sang putra. Tak bisa terus menemani, dia berjanji akan menyelesaikan pekerjaannya lebih awal. Tenang, Elcio mengerti seberapa sibuk seorang pemimpin organisasi sekaligus bussinessman. Pemuda itu mengangguk kecil kemudian mengucapkan "have a good day, " Kepada sang ayah.

Terjebak dalam kesunyian dia menyadari bahwa dunianya terasa sangat sepi tanpa hadirnya Devan dan Dirga. Dengan susah payah dia berjalan tertatih, mengambil mesin penyimpan kenangan yang selama ini menyita waktu makan dan tidurnya.

Sebuah hologram keluar, kenangannya dengan kedua sahabat terbaiknya kembali. Kedua sudut bibirnya terangkat, tertawa geli melihat tingkah bodohnya. Selama ini dia tak sempat melalui masa kanak-kanak seperti orang pada umum. Tetapi entah mengapa, jika dia sedang bermain-main dengan kedua sahabatnya. Dia menjadi orang paling konyol.

Kematian menunggunya di setiap ujung jalan, tanpa dapat dihindari. Semakin dekat, jantungnya berdebar hebat. Sabit tajam yang selalu dia nantikan, berkilauan di depan mata. Mengejeknya. Rasa sakit yang dulu dia syukuri berubah menjadi monster. Keserakahan memenuhi hati. Tidak bisakah dia mendapatkan tambahan waktu bersama keluarga yang selama ini dia impikan?

Elcio menyimpan kembali mesin kenangan yang seharusnya tidak dia lihat. Kenangan bahagia semakin menghantui. Melarangnya pergi, tetapi apa daya maut akan menjemputnya tanpa memberikannya kesempatan berpikir dua kali.

Mendengar pintu terbuka Elcio mengalihkan pandangan dari langit-langit. Pupilnya membesar, tangannya mengepal. Sosok wanita yang paling dia benci, berdiri tak jauh darinya. Senyum mengejek itu membuat emosi memuncak.

Suara ketukan high heels menggema. Semakin kencang.

"Lemah, baru bermain sedikit sudah sekarat? "

"Tenang gue ga bakal mati sebelum nendang lu ke neraka. " Ucap Elcio tidak kalah sinis.

"Cih, ga tau diri. Gue bakal buat lu ngemis kematian ke gue! " Reina berdecih. Telunjuknya menunjuk Elcio kasar.

Masih sama seperti dulu, Elcio tidak akan gentar. Terlebih sekarang beban di pundaknya bertambah banyak. Tentu dia akan berusaha lebih kuat, hingga dapat memukul mundur semua musuh yang hendak mengganggu kehidupannya.

"Ngemis kematian tuh ke Tuhan bukan ke jalang, " Elcio tertawa sinis.

Merasa terhina, wajah merah padam Reina tampak akan meletup. Hidungnya bergerak kembang-kempis menahan amarah. Empat bodyguard berbadan kekar masuk kedalam ruang rawat Elcio, sesaat setelah wanita itu menekan tombol merah pada jam tangannya. Salah satu dari mereka mengunci pintu.

Dua dari mereka mencekal tangan Elcio dari kedua sisi, dua lainnya mencekal kakinya erat. Pemuda itu memberontak sekuat tenaga hingga seluruh alat medis yang menempel pada tubuhnya terlepas. Dia meringis menahan sakitnya cengkraman elang. Satu persatu kancingnya mulai terlepas.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now