23

18 6 0
                                    

Awan mendung menghiasi angkasa. Termometer suhu menunjukkan angka lima belas derajat celcius. Pagi ini udara dingin meresap sampai ke tulang. Membuat siapapun enggan keluar dari selimut hangat.

Terkecuali Elcio, sejak pulang ke rumah dan membersihkan diri. Pemuda itu sama sekali belum keluar dari laboratorium. Matanya tergaja menatap alat-alat canggih milik Elena. Tangannya tidak berhenti bergerak.

Sengat menyakitkan pada perut kirinya tidak berarti apa-apa. Si kepala batu itu mengerahkan semua kemampuannya demi Devan dan Dirga. Separuh nyawanya.

Frustasi tidak kunjung menemukan titik terang, perlahan pertahanannya runtuh. Pelaku sebenarnya pun masih abu-abu, jika Devan di habisi oleh shadow. Lantas mengapa mereka juga melakukan hal yang sama kepada Dirga? Kepala Elcio berdenyut kencang. Dalam sekejap mata semua kepandaian Elcio menghilang, tertutup kabut lebat. Dia tidak bisa berpikir jernih.

Dengan tangan bergetar, Elcio mengeluarkan ponselnya. Hanya ada satu orang yang bisa membantunya dan dapat di percaya. Orang itu bahkan telah menganggapnya sebagai adik kandung. Dia juga mengerti bagaimana hubungannya dengan kedua sahabatnya.

"Nuna, t-tolong selamatin Devan sama Dirga hiks, " Isakan Elcio keluar begitu saja. Membuat Minjae terkejut bukan main.

"Devan sama Dirga kenapa? "

"Mereka ga mau bangun nuna, " Tangisan Elcio semakin keras. Minjae berusaha tetap tenang. Dia tidak boleh panik.

"Sudah jangan nangis. Bisa kamu kirim kesini atau nuna yang kesana? "

"Cio kirim ke lab bawah tanah nuna. Tolong selamatkan mereka. " Elcio meminta dengan penuh ketulusan.

Panggilan terputus. Elcio mengusap air matanya kasar. Dia memandangi lekat wajah damai Devan dan Dirga. Tangannya terangkat membelai surai keduanya bergantian. Kehilangan Devan dan Dirga sama seperti kehilangan seluruh semangat hidup.

Elcio kembali menelpon seseorang. "Kawal ketat Devan Dirga. Bawa ke laboratorium bawah tanah. " Suara serak Elcio menajam.

❄❄❄

Jarum jam menunjukkan pukul tujuh. Daniel menggeliat di atas kasur, mereganggkan tulangnya. Pria itu terdiam sejenak dengan mata yang masih setengah terbuka. Entah apa yang dia pikirkan.

Dia bergegas merapikan tempat tidur dan membersihkan diri. Bersiap pergi bekerja. Dengan tas kantor di tangan, Daniel berjalan keluar. Menuruni tangga, berjalan lagi selama lima menit sebelum sampai di meja makan.

Jauh dari kata hangat. Hanya terdapat Leo dan Jinendra yang tengah menyantap makanannya. Daniel berjalan mendekat. Dia mencari-cari keberadaan yang lain. Decit kursi terdengar. Daniel mendudukan diri pada sisi kanan Leo.

Satu suapan masuk ke dalam mulut. Dia mengunyah makanannya sembari berusaha mencerna aura keruh yang menguar. Seolah tidak terjadi apa-apa, Jinendra kembali menatap piringnya saat netranya tanpa sengaja bertubrukan dengan milik Daniel.

"Mulai hari ini kalian bertugas dengan Arjuna dan Elcio. Semalam Rigel menghubungi papa. Dan keputusan kita hari ini hingga misi selesai kalian akan tinggal di rumah terpisah. Papa sudah menyiapkan semuanya. Kalian tidak perlu selalu ke kantor. " Jelas Leo.

"Mendadak sekali? " Daniel sedikit terkejut. Keputusan tiba-tiba Leo membuat aktivitas menyantap makanannya terhenti sejenak.

"Lakukan saja, "

Suasana kembali hening. Beberapa pasang sepatu terdengar menuruni tangga. Seorang pemuda mungil berjalan paling depan. Jiwanya telah menghilang sejak kemarin malam.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now