24

16 6 0
                                    

"Kak Niel, " Suara serak Elcio menyapa. Daniel yang sedang melakukan peregangan tubuh di taman belakang, menghentikan kegiatannya.

Pria itu menoleh ke asal suara. Tersenyum tipis, kedua tangannya terbuka lebar. Menyambut bintang utama yang membuat si kembar semakin meradang. Bersaing satu sama lain, ingin melindungi sang adik.

Wajah kusut, mata membengkak merah, serta tampilan jauh dari kata rapi. Elcio terlihat sangat berantakan. Padahal dia bukan tipe pemuda yang tahan melihat sesuatu berantakan. Lingkaran hitam yang tak bisa di sembunyikan, membuatnya tertangkap basah bahwa dia tidak tidur dengan benar.

Alih-alih berlari ke dalam pelukan hangat Daniel. Pemuda manis berpiyama ungu itu memilih duduk di bangku taman, berjarak dua meter dari tempat sang kakak berdiri. Kali ini tepat di depan mata Daniel, Elcio menyulut rokoknya. Hisapan dalam membuat kedua maniknya tertutup secara otomatis.

"Jangan keseringan nyebat, " Daniel mendudukkan diri di sebelah Elcio.

Elcio berdecih " Kematian bukan hal paling menakutkan di dunia. Yang paling menakutkan adalah saat lu harus ngeliat orang yang lu sayang sekarat. "

"Devan, Dirga, Jinendra, Arjuna pengen liat gue sekarat. Dan lu? Gue yakin lu juga pengen hal yang sama. Jadi buat apa gue terus hidup di dunia, kalau dunia yang sebesar ini aja ga punya cukup tempat buat gue. "

Daniel mendekat, merangkul bahu sempit si bungsu. " Kalo dunia ga bisa berjalan sesuai keinginan lu, bukan berarti lu ga punya tempat di dunia ini. Semua orang punya egonya ssendiri, gue juga ga mau munafik. Pertama kali lu dateng, gue senengnya bukan main. Tetapi seiring berjalannya waktu gue sadar, tempat lu bukan di keluarga ini. Gue mulai nanemin rasa benci. Tapi semua itu selalu berhasil lu kikis. Bohong kalo gue bilang gue ga tersiksa. Di banding rasa sakit, tanggung jawab sebagai anak sulung lebih besar. "

"Seharusnya gue sadar dari awal. Orang kaya gue emang ga pantes punya keluarga kaya kalian. Kehadiran gue cuma bisa ngerusak keharmonisan kalian. Setelah misi ini selesai, gue bakal pergi kaya yang kalian pengen. " Elcio bangkit dari duduknya. Melenggang pergi dengan bahu rapuh yang membuat Daniel merasa bersalah.

Keputusan tanpa penyesalan rasanya mustahil di dunia yang penuh akan kesesakan ini. Setiap pilihan selalu di ikuti oleh konsekuensi. Daniel bahkan sudah sangat akrab dengan hal tersebut. Janji tidak akan ada penyesalan kini menjadi bumerang. Mencekiknya hingga wajahnya memerah.

Hati masih hal terumit serta paling misterius di muka bumi. Perasaan yang bahkan tak dapat di lihat dengan mata, mampu memporak-porandakan seisi bumi. Benci dan suka, terlihat berlawanan. Tapi siapa sangka keduanya memiliki kesamaan, hingga sulit untuk di bedakan.

Bunga-bunga di taman menunduk layu. Seakan mengerti perasaan serumit benang kusut yang di rasakan Daniel. Udara segar pagi hari berubah menyesakkan. Rerumputan tampak jauh lebih indah dari langit cerah. Daniel menghabiskan beberapa saat waktunya untuk merenungi diri.

❄❄❄

Pintu kamar terbuka seperempat, kepala Jinendra menyembul dari balik pintu. Maniknya mencari sosok saudara kembarnya. Di dapati pria tersebut tengah melamun di depan kaca sambil sesekali merapikan jaket denimnya.

"Arjuna, gue mau ngobrol empat mata bisa ga? " Tanya Jinendra yang sudah masuk ke dalam kamar Arjuna.

Pria itu terjengkit kaget, spontan dia memutar badannya ke arah Jinendra.

"Soal Elcio, bener kata lu gue emang belum pantes buat ngelindungin dia. Lu sendiri sekalipun juga ga bakal kuat. Gimana kalo kita nyatuin kekuatan kita. Ga usah ada iri, kita bisa kerja sama sebagaimana mestinya saudara kembar. "

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now