10

23 11 2
                                    

Dentingan sendok terdengar, memecahkan suasana hening meja makan. Dalam diam, Elcio beberapa kali mencuri pandang menatap Daniel. Sejak kejadian itu, keduanya menjadi sangat canggung. Seolah mereka membangun tembok tak kasat mata, sebagai penghalang.

Seperti biasa, Elcio selesai lebih dahulu. Pemuda itu mengambil bunga pemberian Jinendra dan Dirga yang tergeletak di samping piringnya. Dia terlihat senang atas bunga pemberian Dirga. Terlihat dari matanya yang tak bisa terlepas menatap bunga tersebut.

Jinendra tersenyum kecut melihatnya, dia tau Elcio menerima bunga pemberiannya hanya untuk menghargai dirinya. Matanya melirik kearah Dirga. Pemuda itu menatap paras manis Elcio penuh arti.

Arjuna menyadari hal tersebut, tenggorokannya menjadi kering seketika. Dia terbatuk beberapa kali, membuyarkan perhatian mereka. Drama meja makan berakhir. Daniel mengulurkan segelas air putih kepada Arjuna. Sekali tegukan, nasi yang menyangkut di tenggorokan berhasil turun.

"Hari ini bagaimana jika berpetualang bersama saja? " Usul Arjuna memecah keheningan.

"Setuju, lebih baik terus bersama saat berada di tempat asing. " Devan menyetujui saran Arjuna.

Mata Arjuna melihat keempat pemuda yang masih belum angkat suara. Meminta jawaban mereka. Dirga mengangguk tipis, sedangkan Jinendra tampak tidak mempermasalahkannya.

"Baiklah, " Ucap Jinendra.

Kini hanya tinggal persetujuan Daniel dan Elcio. Melupakan cara bicara, keduanya membisu. Arjuna menatap lekat si sulung, memaksanya angkat suara. Daniel mendesah pelan, apa boleh buat. Lebih dari setengah jumlah mereka sudah setuju.

"Gue setuju, " Ucap Daniel. Kedua sudut bibir Arjuna terangkat, membentuk kurva melengkung ke atas.

Elcio bangkit dari duduknya. "Cepet habisin makanan kalian, " Pemuda itu beranjak pergi menuju kamar.

Suara burung gagak melintas. Jinendra berusaha berjalan di sebelah Elcio, tetapi pemuda itu enggan berjalan bersamanya dan memilih berjalan di pada barisan belakang bersama Arjuna. Keduanya saling diam seperti sedang bermusuhan. Tetapi tangan mereka saling menggenggam di bawah sana.

Lebatnya dedaunan yang saling terhubung membuat suasana hutan menjadi lebih menyeramkan. Semakin dalam mereka masuk ke dalam hutan, semakin minim cahaya yang dapat masuk kedalam. Celah kecil antara dedaunan bagaikan bintang.

Waktu terus berjalan, seharusnya sekarang matahari berada tepat di atas kepala. Berkat dekatnya jarak pohon, mereka tak merasakan sengatan panas itu. Berjam-jam berjalan, mereka sama sekali tak menemukan satu pun petunjuk.

Mereka seperti hanya berkeliling di satu tempat. Demi memeriksa hipotesisnya, Elcio menengikatkan sebuah pita penanda pada salah satu pohon yang mereka lewati. Setelah satu jam berjalan, dia melihat pita merahnya kembali.

Arjuna mendudukkan dirinya pada rerumputan. Kakinya terjulur lurus ke depan. "Istirahat dulu ya... Nyawa gue udah kaya mau di cabut, " Rengeknya, sembari menggerakkan kakinya seperti anak kecil.

Jinendra bergabung dengan Arjuna. Begitu pula dengan Daniel dan Devan, keduanya duduk menyandarkan punggungnya pada batang pohon. Dirga menarik lengan Elcio menjauh. Pemuda mungil itu sedikit terhuyung ke depan. Kakinya terpaksa menyamakan langkah panjang Dirga.

Dari kejauhan, terlihat jelas keduanya tengah berdebat sengit. Adegan saling tunjuk terjadi. Jinendra hendak bangkit menghampiri mereka, tetapi tangan Arjuna mencegahnya. Mereka tak pantas ikut campur.

Masa depan memang tak ada yang tau. Bahkan jika dalam sedetik ke depan, hari berpelangi tergantikan awan mendung berpetir. Siapa yang dapat mengira? Kehidupan tak luput dari kejutan setiap detiknya. Baik kejutan menyenangkan maupun menyedihkan.

[DISCONTINUE] HOPE ||TreasureWhere stories live. Discover now