Bab 17 (bi*ch)

12.7K 1.4K 21
                                    

Penting !
© Cerita ini hanya fiksi belaka. Kesamaan nama, tempat dan waktu tidak melatari cerita sejarah apapun.

Sabrina dan Josette berjalan beriringan. Tidak aja percakapan yang terjadi sejak mereka berdua pergi meninggalkan istana mawar. Entah karena Josette terlalu marah padanya atau karena Sabrina yang terlalu malas menjelaskan. Sabrina sungguh tidak masalah dengan semua itu, lagipula dirinya menyukai suasana seperti saat ini.

Acara minum teh terpaksa diselesaikan lebih awal lantaran yang mulia ratu memiliki tamu penting yang harus segera ditemui. Tamu penting yang dimaksud ialah seorang utusan dari kerajaan lain. Memangnya siapa lagi orang di negara ini yang statusnya lebih tinggi dari yang mulia ratu sampai-sampai membuat sang ratu harus menemui tamunya sesegera mungkin.

Akibat dari hal tersebut Sabrina dan Josette kembali mempunyai waktu mengelilingi istana sembari menunggu jam makan malam tiba.

Dari kejauhan Sabrina menangkap siluet tubuh pangeran kedua beserta ajudannya yang berjalan menghampirinya, ataukah Josette?. Hal tersebut tanpa sadar membuat Sabrina bersikap waspada.

Tak lama kemudian pangeran kedua tiba didepan Sabrina—salah, dihadapan Josette lebih tepatnya. Tidak ada senyum bahagia di wajah Robert seperti biasa tak kala matanya bersitatap dengan Sabrina, yang ada hanyalah kemarahan dari sepasang bola mata kebiruan milik Robert. Sabrina menyimpulkan jika pria itu masih kesal atas perkataan Sabrina beberapa jam lalu.

Robert mendekatkan tubuh ke arah Josette. Setelahnya membisikan sesuatu yang berhasil membuat Josette tersipu malu. Sabrina yang menyaksikan interaksi manis keduanya bingung harus bersikap bagaimana. Tentu saja dia tidak cemburu dengan semua itu. Robert bukan siapa-siapa bagi Sabrina. Kebetulan saja dengan melihat pria itu membuat Sabrina teringat akan sosok adiknya.

Sabrina memutuskan untuk undur diri dari pandangan Robert dan Josette. Tentunya setelah meminta izin terlebih dulu kepada Robert yang ditanggapi dengan sedikit acuh. Sabrina memaklumi semua itu. Lebih baik Robert terlihat memusuhinya daripada terlihat akrab dengannya. Sabrina tidak menyesali atas perkataannya tentang menyukai putra mahkota, yang Sabrina sesalkan adalah respon dari Robert. Sabrina sungguh tidak mengerti dengan pemikiran pria itu.

Sabrina berjalan tanpa tentu arah, menyusuri jalan setapak yang entah akan membawanya kemana. Sabrina merasa waktunya di istana terasa sangat lama dan membosankan, seharusnya ia mempertimbangan membawa Matilda turut serta, dengan begitu Sabrina tidak akan jenuh.

Sabrina menemukan sebuah kursi besi yang nampak terlihat nyaman. Sabrina menempatkan tubuhnya di atas kursi tersebut sembari menyenderkan kepala. Cahaya matahari sore yang hangat beserta hembusan angin sejuk tanpa sadar membuat mata Sabrina terpejam. Rasa kantung yang teramat karena lelah berhasil membuat Sabrina terlelap dalam hitungan detik.

Tidur Sabrina terusik ketika cahaya matahari sore tidak lagi terasa menerpa kulitnya. Firasat Sabrina mengatakan jika ada seseorang yang menghalangi sinar tersebut. Sabrina membuka sebelah mata perlahan. Sebelum akhirnya membuka kedua kelopak matanya demi memastikan sosok yang berdiri didekatnya.

Semula Sabrina ragu dengan penglihatannya mengenai keberadaan putra mahkota, tetapi setelah kesadarannya terkumpul, Sabrina yakin jika seseorang yang saat ini sedang memandangnya dengan datar, ditambah minim ekspresi adalah wujud asli pangeran pertama alias putra mahkota.

Sabrina kaget mengetahui fakta tersebut. Buru-buru ia bangkit, akan tetapi karena gerakannya yang terlalu tiba-tiba membuat kepalanya berdenyut sakit, menyebabkan Sabrina kehilangan keseimbangan sebelum akhirnya jatuh terduduk tepat didepan putra mahkota.

Sabrina meringis, mendelik kesal ke arah putra mahkota. Seharusnya pria itu dengan sigap menangkap tubuh Sabrina. Bukan malah membiarkan apalagi hanya menonton seperti saat ini.

What the Lady WantsWhere stories live. Discover now