***

"Butuh tumpangan?"

"Gak makasih,"

"Panas loh,"

"Gua gak buta."

"Sama gua aja. Bawa mobil, kok."

"Gua naik bus,"

"Irit buat biaya rumah tangga kita ntar,"

Alexa berdecih. Ia melirik seorang cowok yang berjalan di sampingnya sinis.

"Lo bener-bener cowok brengsek ya. Lo udah main nyosor gua gitu aja trus di kantin tadi lo udah sama cewek lain?"

"Lo cemburu?"

"Gua?" tanya Alexa sembari terkekeh. "Cemburu? GAK BANGET!"

"Yaudah sih cemburu aja. Oh iya bibir lo manis btw. Bikin candu,"

Alexa menghentikan langkahnya. Ia menatao Devano yang sedang tersenyum manis.

"Gua tau apa tujuan lo deketin gua. Dan gua buat cewek murahan seperti apa yang ada di otak gila lo itu. Lo pikir gua cewek yang gampangan di ajak ena-ena? Ngotak lo!"

Sebelah sudut bibir Devano terangkat. Devano mengangkat ponselnya menunjukkan sesuatu pada Alexa.

"Perusahaan orang tua lo kan?"

Alexa melotot kaget.

"Gua bisa aja buat perusahaan ini bangkrut dengan sekali tekan. Ah lo gak pingin kan orang tua lo nangis-nangis ke gua dan minta bantuan?"

Wajah memerah Alexa dapat Devano lihat. Gadis itu sedang menahan amarahnya yang sudah di ujung tanduk.

"Lo gak sebodoh itu untuk gak tau Crideos."

Alexa terdiam. Tentu saja dia tau. Itu adalah salah satu nama perusaan yang membantu perusaan milik orang tuanya. Bahkan Crideos lah penyebab mereka pindah ke Jakarta karena mendapat bantuan. Di London, perusahaan mereka sedang tidak baik-baik saja karena salah satu kariawan melakukan penggelepan dana.

"Dan bokap gua yang memimpin Crideos. Ah lo gak tau seberapa kayanya gua. Bahkan sekolah ini juga punya gua,"

Alexa menatap Devano. "Jangan pernah lo ganggu orang tua gua."

Devano memasukan ponselnya ke dalam saku. "Tergantung,"

"Apa mau lo?"

Senyum Devano semakin lebar. Ini yang dia tunggu. Tatapan sayu penuh permohonan padanya.

Devano sudah menggali informasi tentang Alexa satu malaman ini. Sungguh kejutan dan keberuntungan yang luar biasa mengetahui bahwa orang tua Alexa bekerja sama sengan perusahaan milik ayahnya.

"Turutin apa mau gua."

***

"Lo ngapain bawa gua ke sini?"

Alexa menatap sekitar. Devano membawanya ke sebuah apartemen.

"Ini apart gua,"

Mewah. Itulah yang Alexa lihat. Semuanya terbuat dari benda-benda yang mahal.

"Gua jarang sih bawa cewek ke sini. Jadi lo harus bersyukur,"

"Gua gak minta lo buat bawa gua ke sini,"

"Justru itu! Lo harus berkali-kali lipat bersyukur,"

Alexa memutar bola matanya malas. Ia pun duduk di sofa tanpa menunggu Devano menyuruhnya.

"Lo tunggu di sini, gua mau ganti baju,"

Baru saja Alexa hendak memprotes Devano sudah pergi.

"Buat apasih dia bawa gua ke sini? Pamer?"

Sepuluh menit Alexa menunggu Devano tak kunjung menampakkan diri. Ia tiba-tiba berdiri.

"Aaa... "

Tubuh Alexa ambruk di atas sofa dengan Devano yang juga terjatuh di atasnya akibat ingin menahan Alexa yang tadinya terhyung.

Bayangkan saja bagaimana posisi itu.

Devano dapat melihat wajah indah Alexa dengan jarak yang sedekat ini. Devano bahkan meneguk salivanya susah payah.

Alexa memejamkan matanya ketika wajah Devano mendekat. Entah mengapa tubuhnya seakan terbius sehingga tak bisa memberontak.

Kini bibir keduanya sudah menempel. Baik Alexa dan Devano sama-sama memejamkan matanya. Menikmati ciuaman yang mulai menjadi lumatan.

Devano menggigit bibir bawah Alexa hingga terbuka dan lidahnya langsung menerobos masuk.

Sebelah tangan Devano menyentuh dagu gadis itu agar memperdalam ciumannya. Sebelah tangannya lagi bergerak di punggung yang masih terlapisi seragan sekolah itu.

"Eugh." Alexa melengguh.

Alexa memegang lengan Devano yang hendak membuka kancing seragamnya. Ia menatap lengan besar itu.

"Kenapa?" tanya Devano.

"Lo nanya ke gua? Lo yang kenapa? Singkirin tangan lo dari gua," ujar Alexa tanpa menatap wajah Devano. Dia hendak bangkit tapi tak bisa. Devano sama sekali tak merubah posisinya dan malah menahan Alexa yang hendak pergi.

"Lo lupa apa yang udah gua bilang tadi?"

****

DEVANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang