Ucapan musim dingin

97 12 2
                                    

"Ibu, jika suatu hari aku berada di agensi besar, apa yang akan Ibu rasakan?" tanya Haven menatap langit kamar ibunya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ibu, jika suatu hari aku berada di agensi besar, apa yang akan Ibu rasakan?" tanya Haven menatap langit kamar ibunya. Sementara Nyonya Lee duduk di kursi dekat jendela miliknya. Beliau membiarkan Haven berbaring di kasurnya.

Nyonya Lee yang fokus dengan buku resep masaknya itu langsung menoleh. "Tentu saja bangga, Ibu akan bangga padamu dalam apa saja yang kamu lakukan. Selagi itu hal yang baik, Haven," tanggap Nyonya Lee dengan mata yang tertuju kembali ke buku.

"Walau itu di tempat yang sangat jauh?"

"Iya, Ibu akan tetap bangga padamu. Memangnya kenapa?"

"Tadi saat di kafe, aku ditawarkan masuk ke agensi oleh salah satu stafnya."

"Oh, ya? Agensi apa itu?" Tentu saja Nyonya Lee ingin sekali mengetahuinya. Di dunia ini, pasti ada banyak sekali agensi. Mungkin saja agensi-agensi itu menawarkan Haven untuk menjadi salah satu bagian dari mereka. Dan itu akan terjadi secara langsung jika mereka menyaksikan talenta Haven.

"Tebak, agensi siapa?" tutur Haven. Sekali-sekali Haven ingin ibunya menebak ceritanya. Tidak seperti Yancy yang sering berkata: tebak apa? kepada ibunya. Nyonya Lee tampaknya berpikir. "Agensi ini yang merekrut penyanyi kesukaan Ibu dan Ayah, loh!" sambung Haven untuk menjadi petunjuk. 

"Siapa itu?"

"Penyanyi kesukaan Ibu, masa Ibu tidak tahu?"

Nyonya Lee mengerjapkan matanya. "Asher Edelhard?" tanya Nyonya Lee. Haven mengangguk antusias dengan senyuman. Sungguh tak disangka, putranya ditawarkan untuk menjadi salah satu artis di agensi penyanyi favoritnya. "Kau.. yakin?" Nyonya Lee tentu saja masih meragukannya.

"Kalau Ibu tidak percaya, lihat saja ini! Aku diberi kartu nama agensi, stafnya juga memberiku nomor teleponnya untuk menghubunginya jika aku mau bergabung," jelas Haven bangga. Nyonya Lee segera mendekat kepada putranya, mengambil kartu nama yang ditunjukkan kepadanya. Ternyata benar, Haven sama sekali tidak berbohong.

"Ikut saja, kalau kau mau. Tidak perlu ikut kalau tidak mau, nanti yang ada kau terpaksa."

:

Pagi menjelang siang berikutnya, Haven sudah berjanjian dengan Efran di kafe Nyonya Clarke. Ia menunggu Efran di sofa dekat jendela, mengamati salju di luar. Sampai akhirnya terdengar bunyi lonceng di atas pintu. Terlihat pria berjaket tebal biru, itu adalah Efran.

"Efran!" sapa Haven.

"Oh, kamu di sini rupanya." Efran menarik kursi yang ada di depan Haven. Agar pembicaraan lebih jelas, ia berhadap-hadapan dengan pemuda itu.

"Apa kamu tidak melihatku?"

"Maaf, aku tidak memperhatikan."

"Tidak apa-apa, apa kamu sudah sarapan?"

"Sudah, aku sudah sarapan."

"Mau aku pesankan minum?"

"Tidak usah, aku baik-baik saja," kata Efran. Haven mengangguk paham. "Ada apa, Haven?" tanya Efran. Haven merapatkan jari-jarinya. Raut wajahnya terlihat berpikir serius. Sekali lagi, ia mempertimbangkannya.

"Aku rasa, aku akan bergabung dengan agensimu."

Ivory masih dapat mendengar percakapan mereka walau jauh. Ia yang tadinya membuatkan pelanggan minuman seketika terdiam. "Ada apa, Ivory? Apa ada masalah?" tanya Nyonya Clarke memperhatikan putrinya. Pikiran Ivory kosong, begitu pula tatapannya. Namun, dia masih bisa fokus untuk membuatkan pesanan. "Ivory?" panggil Nyonya Clarke lagi. Hingga kesekian kalinya, Ivory baru menyadari panggilan sang ibu.

"Iya, Bu?"

"Ah, ya ampun. Kau ini melamunkan apa? Kau baik-baik saja? Kau tidak sakit lagi, kan?"

"Aku tidak apa-apa, Bu."

:

Pukul tiga sore, Haven ke luar bersama Ivory untuk pergi ke sebuah toko piringan hitam. Haven suka sekali tempat ini. Ia akan mendengarkan musik-musik kesukaannya. Biasanya ia mendengarkan lagu yang sudah lama, sementara Ivory tidak banyak menemukan hal. Ivory sebenarnya bukan orang yang suka ke luar, sampai akhirnya diajak untuk menemani orang itu pergi.

Penjaga toko sudah hafal dengan kedua insan ini. Kalau salah satu tidak ikut, dia akan bingung. Di mana pasangannya? Kenapa tidak ikut kemari?

"Haven, penyanyi kesukaanmu sudah mengeluarkan lagu baru. Dan kami sudah punya piringan hitamnya," sambut sang penjaga toko, Tuan Smith.

"Sungguh? Cepat sekali kalian mendapatkannya!" kagum Haven tak percaya. Benar-benar dalam beberapa minggu, tokonya sudah menyediakan piringan hitam. "Tapi kalau boleh tahu, di mana letaknya, ya?" tanya Haven.

"Sini, biar aku tunjukkan."

Mengingat Ivory yang suka sekali melamun, Haven refleks menggenggam tangannya, takut Ivory tertinggal. Sementara toko piringan hitam ini sangat luas sampai belakang. "Ah, ini dia!" seru Tuan Smith dengan senang.

"Kau tertarik mendengarnya? Akan aku putarkan," ucap Tuan Smith. Beliau tersenyum melihat Haven bergandengan dengan Ivory. "Ada baiknya kalau kalian mendengarkan ini berdua," sambung pria tua itu.

Cepat-cepat, Ivory menyadari keadaannya. "Tidak, saya tidak usah. Biar Haven saja," ucap Ivory menolak lembut.

"Kenapa?"

"Tidak apa-apa."

:

Pulang dari toko, Ivory memandang tangan Haven yang menggantung. Tanpa banyak berpikir, Ivory kembali menggenggam tangan pemuda itu. "Dengar, kau akan pergi ke negeri orang. Dan aku rasa kita akan jarang bertemu. Kalau bergandengan begini, tidak apa-apa, kan?" tutur Ivory. Haven mengerjapkan matanya, sejak kapan teman kecil perempuannya menjadi begini? Ada apa dengannya?

"Kau sakit?" tanggap Haven.

"Bodoh, aku sedang berbicara denganmu."

Haven terkekeh. "Maaf, memangnya kenapa? Kau akan merindukanku, ya?" ledek Haven. Ivory menoyor kepala Haven dengan tangan lainnya,  sementara Haven hanya mengeluh.

"Aku tidak akan merindukanmu, Haven Lee."

Tanggal diperbarui: 5 Oktober 2023

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tanggal diperbarui: 5 Oktober 2023.

[ ― promise me ; zuo hang ]Where stories live. Discover now