“Kak Chiko kenapa pakai baju partai?”

“Biar kelihatan beda gitu, kan jadi pusat perhatian. Biar lo lirik gue,” Chiko mengeluarkan jurus mautnya.

Sesil tertawa kecil, “Cari perhatian gue bukan dengan cara itu kali, Kak.”

“Terus dengan cara apa?” Chiko tampak antusias mendengarkan Sesil kali ini.

Jari telunjuk gadis itu menepuk-nepuk pipi, mencari jawaban atas pertanyaan Chiko. Namun sebelum dirinya berucap seorang cowok tiba-tiba datang dan langsung menjabat tangan Chiko.

“Makasih ya Chik. Gue doa’in semoga rezeki lo lancar,” ucap cowok tersebut.

“I–iya. Sama-sama.” Walau pun Chiko masih bingung, dia tetap menjawab.

Sesil menatap punggung orang yang barusan menjabat tangan cowok di sampingnya dengan dahi berkerut. Pandangannya beralih pada Chiko yang ternyata menampakkan raut wajah heran sama sepertinya.

“Dia terima kasih sama gue atas dasar apa?” Sebelum Sesil sempat bertanya cowok itu terlebih dahulu mempertanyakan hal barusan.

“Mungkin Kak Chiko pernah bantu dia.”

“Kenal aja enggak,” tukas Chiko.

Mereka melanjutkan perjalanan, menepis pikiran heran yang hinggap di otak keduanya. Mungkin cowok tadi salah orang, atau bisa saja dia tengah berbahagia hari ini jadi dia berterima kasih pada semua orang.

Sesampainya di kantin Chiko dan Sesil disambut dengan suara riuh. Sebagian dari mereka terlihat memakan mie ayam dengan raut wajah semringah, sebagian lagi merasa lega setelah perut kenyang.

“Chiko, makasih ya mie ayamnya.” Seorang gadis berdiri di hadapan Chiko sambil membawa semangkok mie ayam.

“Ngomong-ngomong lo syukuran apa sih sampai bagi-bagi mie ayam gratis gini?” lanjutnya bertanya.

“Syukuran?” Lama-lama dahi Chiko keriput karena terlalu sering berkerut.

“Kok lo jadi linglung gini? Ya udah deh gue pergi dulu mau menikmati mie ayamnya.” Gadis tersebut melenggang pergi meninggalkan dua sejoli yang sama-sama bingung itu.

Pandangan Chiko beralih menatap gerobak mie ayam Pak Slamet yang sudah di kerubungi banyak orang. Segala umpatan di hati Chiko sudah meronta ingin dikeluarkan, dia tahu penyebabnya.

“Monyet!”

Bagas. Cowok itu dengan tidak tahu dirinya membagi-bagikan mie ayam gratis atas namanya. Padahal Chiko tadi berpikir tidak mungkin Bagas bisa menghabiskan seluruh mie ayam Pak Slamet, oleh sebab itu dia berani bilang mentraktir Bagas mie ayam sekalian sama gerobaknya.

Namun kini cowok itu malah membawa pasukan, kalau begini ceritanya Chiko bisa melarat dalam waktu sekejap.

“Syukuran apa Kak?” Sesil masih saja bingung dengan kondisi yang ada.

“Emm... Anu. Syukuran ... Syukuran..., Syukuran karena Tuhan udah temuin gue sama lo,” kata Chiko ngawur.

Sesil memukul dada Chiko dengan buku novel yang dibawanya, “Seriusan Kak! Jangan bercanda mulu.”

“Enggak bercanda. Yuk! Gue traktir mie ayam spesial buat lo.” Chiko menggandeng tangan Sesil, membawanya disalah satu bangku kosong di sana.

Meninggalkan gadis itu, Chiko beranjak menghampiri Pak Slamet yang terlihat kewalahan melayani pelanggan. Pria paruh baya itu tidak sendirian, beliau didampingi Bagas yang kini sedang sibuk mengantarkan mie ayam pada para pelanggan.

“Pak, mie ayam dua ya. Pokoknya paling enak dari yang lain,” kata Chiko.

“Maaf, tapi mie ayamnya tinggal satu porsi,” tukas Pak Slamet menyesal.

Mengetahui hal itu Chiko langsung menampakkan raut wajah tidak percaya, “Ini saya loh Pak yang bayar semuanya. Masak kagak ada sisa.”

“Iya itu tadi, sisa satu.”

“Tapi saya butuhnya dua,” Kini cowok itu malah berdebat dengan Pak Slamet.

“Kalau kenyataannya udah habis, Bapak harus gimana atuh?”

Mendengar ucapan pasrah Pak Slamet membuat Chiko mengacak rambutnya frustrasi, “Ya udah deh Pak, satu gakpapa.”

Pria paruh baya itu mengangguk lalu membuatkan mie ayam pesanan Chiko.

Beliau terus mengusap dada mencoba bersabar karena cowok di sampingnya tidak henti memperingatinya kalau mie ayam terakhir itu rasanya harus enak, harus beda dari yang lain.

Kenapa tidak pesan bakso sekalian yang rasanya tidak sama seperti mie ayam?

Beberapa waktu kemudian semangkuk mie ayam akhirnya jadi. Chiko membawa mangkuk penuh hati-hati menghampiri Sesil yang sedang membaca novel. Gadis itu memang gadis yang tidak banyak tingkah, dia terlihat tenang menunggu. Tampak dewasa di usianya yang lebih muda dari Chiko satu tahun.

“Ini dia mie ayam spesial buat orang spesial.” Chiko menaruh mangkuk berisi mie ayam di depan Sesil.

“Makasih,” kata Sesil walaupun di hatinya masih terlalu janggal dengan kata ‘spesial’ yang dikatakan Chiko.

Bukankah sedari awal gadis itu sudah tahu siapa Chiko sebenarnya? Dia adalah cowok yang suka tebar pesona ke sana kemari, menggoda setiap cewek yang ditemuinya.

Sebelumnya Sesil cukup kebal dengan sikap manis cowok itu, namun entah kenapa semakin ke sini dia merasakan kata-kata Chiko bermakna nyata.

Gadis itu menggeleng menepis pikiran anehnya, “Punya Kak Chiko mana?” tanya nya kemudian.

“Lagi gak laper. Mau lihatin lo makan aja deh.”

Sesil memaksakan senyumannya, “Mau makan semangkok sama gue?”

Kedua sudut bibir Chiko terangkat, buru-buru dia mengusap wajahnya kasar. Hanya dengan kalimat sesimpel itu saja dia sudah baper. Sangat payah.









______________

Bersambung....

Author: Terimakasih sudah baca😊

My ChikoHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin