Beauty Psycho 50 : Mengunjungi Ana

1.2K 227 13
                                    

Elisha mengusap wajahnya yang basah dengan air. Ia menatap pantulan dirinya dicermin. Gadis itu mematikan air sebelum mengelap wajahnya dengan handuk kering.

Sial, rasanya Elisha tidak sudi untuk menekan nasi dari keluarga ini. Sungguh menjengkelkan, apalagi mengingat wajah Nathan yang begitu sok polos.

Gadis itu mengambil sabun cair dengan kasar lalu mencuci tangannya.

Elisha sedikit tersentak saat seseorang masuk dan mencuci tangan didampingnya. Ia mencoba terlihat biasa-biasa saja walaupun Erika sedang disampingnya.

Masih mencuci tangannya, Elisha tahu Erika sebentar lagi akan mengajaknya berbicara. Sebelum itu terjadi, Elisha langsung mempercepat mencuci tangannya.

Namun sepertinya takdir berkata lain, belum hilang busa sabun ini, suara lembut Erika membuat gadis itu tersenyum kecut.

"Sungguh pertikaian yang baik," pujinya membuat Elisha menatap Erika dari cermin.

Pertikaian yang baik? Cih! Apa maksudnya dengan itu, hah!?

Erika tersenyum, menatap mata Elisha dari pantulan cermin besar dihadapannya. "Aku cukup salut dengan keberanian mu. Aku kira, kau hanya akan menjadi macan di kandang mu saja."

Hei! Elisha tidaklah penakut dan lemah. Ia tidak akan membiarkan dirinya ditindas, terlebih orang itu adalah kepala keluarga keluarga Alexander!

Elisha balas dengan senyuman miring. Sungguh, ia benar-benar tidak ingin terlibat dengan Erika yang merupakan anggota keluarga Alexander ini.

"Tidakkah Anda berpikir ..." Elisha mengelap jari-jari tangannya yang masih licin karena sabun dengan handuk kecil. "bahwa Anda tidak berguna?" Elisha menoleh, menatap Erika tanpa minat.

Elisha mencoba untuk membuat Erika bungkam saja, lalu meninggalkan kediaman laknat ini dengan tenang.

Tubuh Erika membeku mendengar penuturan anaknya itu. Tidak berguna? Kalimat mengerikan yang diberikan oleh anak untuk orangtuanya?

Anak mana yang mengatakan ibunya sendiri tidak berguna?

Tapi, bukan Erika namanya kalau tidak bisa tenang. Ia hanya memberhentikan aktivitasnya lalu menoleh, menatap Elisha dengan seringaian.

"Mengapa demikian?" tanya wanita itu mencari apa gerangan yang membuat Elisha merasa sedemikian.

Senyuman Elisha semakin melebar, tetapi siapapun tahu itu hanyalah senyum yang penuh dengan pemikiran di otak kecil gadis itu. Ada berbagai pikiran rumit yang mampu saja mematikan siapa saja.

Elisha mengerdikan bahu acuh. "Membiarkan saya terpojokkan begitu saja, tidakkah ada sedikit saja rasa iba?" Elisha memancing, menatap sinis Erika yang mulai terganggu.

"Iba? Kurasa kau tidak memerlukannya," jawab Erika santai, tetapi terdengar begitu sinis ditelinga Elisha. Walau begitupun, ego Erika sebagai seorang ibu tersentil.

Elisha mangguk-mangguk tanpa minat, lalu menjawab, "Itu sebabnya, saya juga tidak memerlukan pujian formalitas Anda," jelas Elisha tersenyum miring, lalu ia berjalan meninggalkan Erika yang giginya mulai bergemelatuk.

Sekarang ia sadar, Elisha mencoba membalasnya.

Elisha sendiri, berjalan dengan langkah lebar menuju pintu. Don yang sigap langsung membukakan pintu dan duduk disamping Elisha sembari menyuruh supir untuk menjalankan mobilnya.

Elisha mendesah lelah. "Sungguh, keluarga sialan," gumamnya sambil menyenderkan kepala dan memejamkan mata.

Don yang mendengar itu menoleh, ia langsung sigap mengambil minyak angin dan berkata, "Biar saya pijit."

Beauty Psycho (END)Where stories live. Discover now