Beauty Psycho 88 : Ancaman Edison

1.1K 225 20
                                    

"Video dokumentasi, mural dinding, lukisan triplek, cerpen, makalah, power point, satu pertunjukan piano dan lagu sudah siap!" Netta tersenyum senang sekali.

Ia cukup kecewa karena kerja kelompok yang harusnya selesai dalam 6 bulan malah memakan waktu hampir 10 bulan.

Nia mengernyitkan dahi lalu berceletuk, "Bukannya kita belum nentuin judul lagu yang akan dinyanyikan dan musik piano yang pas, ya?"

"Oh, iya!" Netta mendesah lelah sambil menepuk keningnya.

"Menurut lo, gimana?" tanya gadis itu menatap Elisha.

Elisha mengerdikan lagu. "Gue bukan musisi. Terus ... untuk piano, gue rasa Yazen lebih paham. Gue nggak tau apa-apa tentang piano."

"Bohong!"

Celetukan dari belakang membuat Elisha menegang. Gadis itu terdiam, membiarkan Netta dan Nia menatap Sean penuh tanya.

"Begitukah?" tanya Elisha lalu ia menolehkan kepalanya menatap Sean yang hanya menatapnya datar.

"Cuma Für Elise, selain itu nggak ada lagi yang gue kuasai," jawab Elisha, berbohong.

Melihat kebohongan yang masih terlihat jelas itu, Sean hanya tersenyum tipis lalu mengerdikan bahu. "Terserah, kebohongan memang selalu melekat di hati lo, bukankah begitu, Ana?" Tatapan mata Sean lalu tertuju pada Ana, meminta persetujuan.

Ana langsung mengerjabkan mata saat namanya tiba-tiba disebut, sedangkan Elisha menahan gemeruh kepedihan yang ia rasakan karena Sean. Sial sekali!

Gigi kecil Elisha bergemelatuk saat Ana mengangguk kaku disertai dengan senyuman manisnya. Sial! Bibit-bibit pelakor ini harus Elisha singkirkan secepat mungkin!

"Selamat pagi, semuanya!" Yazen tiba-tiba datang dengan wajah hangat dan cerah, tidak seperti dulu yang tak lebih dari tubuh tanpa jiwa.

Nia dan Netta saling tatap lalu terkekeh. "Ada apa lo? Senang banget pagi ini," tanya Nia diangguki Netta.

"Zena, adik gue baru aja putus cinta," jawabnya santai sambil meletakkan tas.

"Pfttt!" Ana menahan tawanya, begitu juga dengan Netta dan Nia yang sudah terbahak.

"Apa-apaan?" Elisha menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Adek lo galau, lo nya kesenangan."

"Iya dong! Orang cowoknya punya cewek." Yazen mengepalkan tangannya didepan dada. Ia lalu menghela nafas. "Yakali gue biarin Adek gue jadi pelakor."

Netta yang mendengarnya bergidik ngilu. "Njir, Zena anaknya kalem tapi sayangnya suka sama cowok punya orang."

Elisha mengangguk setuju, seketika mereka menghibahi asmara orang lain. "Iya sih, tapi kalau namanya suka mau bagaimana lagi?"

Ucapannya sendiri membuat Elisha tanpa sadar melirik Sean yang sedari tadi terdiam sambil bersedekap dada.

Kedua pasang mata itu saling tatap, bahkan suara-suara Nia sudah tidak terdengar di telinga Elisha. Elisha hanyut dalam manik Sean yang terasa dingin tetapi juga hangat.

"Bahkan, walaupun pada akhirnya keluarga mereka menentang," sambung Elisha masih memandangi Sean.

Mendengar ucapan Elisha yang ambigu, Sean mengalihkan pandangannya dengan pipi memanas. Pemuda itu berdehem lalu meninggalkan teman-temannya beserta Elisha yang sudah kembali terdiam.

Ana yang satu-satunya paham diantara teman-teman yang lain hanya bisa berdehem. Gadis itu rasanya ingin sekali mengelus pundak Elisha, tetapi ia tahan.

Ia menghela nafas lalu menggelengkan kepalanya berusaha mengenyahkan kembali perasaan kasihan kepada Elisha.

Bukankah harusnya Ana senang? Tapi, gadis itu merasa tidak demikian. Walau ia tidak menampik perasaan terhadap Sean itu masih ada, tapi, melihat kedua orang itu seolah menjauh membuat Ana ikut larut dalam kesedihan.

Beauty Psycho (END)Where stories live. Discover now