MPG 12 : Kelompok

2.1K 352 5
                                    

Tadi, saya membaca ulang cerita WBT. Mau muntah darah aja lagi rasanya pas ngebaca cerita itu, hiks ... banyak typo, alurnya juga nggak jelas. Pengen revisi tapi nggak ada waktu.

_

Suara rantai yang bergesekan dengan lantai terdengar begitu nyaring dan menakutkan. Anak laki-laki itu berlari melewati lorong-lorong yang gelap, dibelakangnya ada seorang gadis yang berjalan tenang ke arahnya.

Nafasnya memburu dengan air mata yang berjatuhan, berirama dengan langkah kakinya yang kecil itu.

"Mama! Papa! Tolong aku!" Suaranya begitu pilu, anak laki-laki itu terus saja berlari tanpa tujuan. Tempat ini begitu besar membuatnya bingung untuk ke mana.

Suara langkah kaki dari depan membuat anak itu menghentikan langkahnya. Ia tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang yang ada didepan sana.

Ia mundur beberapa langkah, lalu saat sosok itu mendekat, anak itu berteriak histeris.

"Ini rumah aku, bagaimanapun kamu berlari dan menghindar, aku tetap akan datang." Gadis itu menyeringai.

"Larilah ... sampai kapan kau akan berlari," ujarnya berbisik. Bisikan itu bergema sekali membuat anak laki-laki itu ketakutan.

Lutut anak laki-laki itu lemas, ia terjatuh begitu saja di lantai yang dingin. Deru nafasnya terdengar memberat, ia tercekat saat anak gadis didepannya mengayunkan rantai besi berkarat.

"TIDAK!"

Sean langsung terduduk, dadanya kembang kempis dengan pakaian yang basah karena keringat dingin. Pemuda itu gemetaran dengan sorot mata rumit.

"Apa sih, yang membuat gue selamat?" tanya Sean frustasi. Semua mimpi yang terkait, belum memberikan satu kejelasan pun dari misteri-misteri yang harus ia pecahkan.


***


Sean menghela nafas lega saat bokongnya sudah terjatuh ke kursinya. Ia tadinya sedikit khawatir, apabila terlambat masuk ke kelas. Maklum, sifatnya yang tertutup membuatnya sedikit malas pergi ke sekolah.

Belum lagi ia bangun kesiangan, huft ...

Jika tidak mengingat apa tujuannya datang ke sini, mungkin Sean akan lebih memilih mengurung diri di kamarnya.

Suasana kelas yang awalnya ribut langsung senyap setelah suara dingin seorang gadis membombardir siswa yang ada. Termasuk dirinya sedikit merinding.

"Kalian semua mau mati?"

Sontak saja, Sean menoleh. Ia mengernyitkan dahinya lalu menatap seorang gadis yang sempat ia pikirkan semalam. Wah, bagaimana bisa semua anak kelasnya menuruti gadis itu?

Sean tersenyum sinis, ia benci melihat orang melakukan hal semena-mena dengan kekuasaannya.

Ya ... walaupun dirinya sedikit berterimakasih karena Elisha membuat kelas yang awalnya ribut menjadi tenang. Dirinya tidak suka keributan.

Ana menghela nafas, lalu ia menyunggingkan senyuman manis kepada gadis yang ia tunggu sedari tadi. Elisha, wajahnya terlihat lelah membuat Ana mengernyit keheranan.

"Kantung mata kamu hitam, Sha. Kamu nggak cukup waktu untuk tidur?" tanyanya membuat Elisha menatap Ana lewat ekor mata.

Elisha hanya diam, ia sungguh tidak ingin banyak bicara karena sedang tidak mood. Banyak hal yang mengganggu pikirannya hingga ia tidak tidur setelah kejadian lilin tadi malam.

Ana yang merasa Elisha tidak akan menjawabnya hanya bisa menghela nafas, gadis itu tidak akan bertanya lanjut karena takut Elisha akan marah.

Beberapa menit kemudian, seorang guru cantik memasuki kelas dengan anggun. Elisha memiringkan kepalanya saat melihat Bu Vidya masuk.

Beauty Psycho (END)Where stories live. Discover now