Beauty Psycho 77 :

964 218 6
                                    

Erick menatap Elisha yang sudah terjatuh di lantai dengan perasaan terluka. Karena merasa kalut, lelaki itu tanpa sengaja melayangkan satu tamparan kencang.

Berita yang ia dengar tentu saja membuat Erick tidak tenang. Tangan Erick gemetaran memikirkan kakeknya itu, walau tidak dapat disangkal, ia cukup merasa terpukul dan sedih.

Bagaimanapun, Nathan tetap kakeknya, bukan?

Erick sudah dapat menguasai dirinya sendiri. Ia tidak merasa adanya kemarahan yang bergojak, malahan ia merasa sakit yang luar biasa didadanya.

"Gue tanya sekali lagi, Elena." Suara Erick terdengar lirih dan sendu. Elisha hanya bisa mencengkram erat rok sekolah yang ia pakai.

"Lo kemana tadi malam?"

Pertanyaan itu membuat Elisha membeku ditempat. Ia hanya terdiam saja sampai suara kekehan tak percaya dari Erick terdengar.

"Ke rumah utama, 'kan?"

Elisha merasa terpojokkan. Gadis itu hanya mengangguk lemah lalu menjawab, "Ya, gue ke kediaman utama tadi malam."

"Kenapa pas banget? Lo menyelinap keluar pukul 12 malam. Satu jam diperjalanan dan beberapa menit mengalihkan perhatian penjaga. Terus ... kakek meninggal pukul 2 dini hari. Coba lo pikir, gimana bisa gue nggak mencurigai lo coba?"

"Gue kesana cuma mau jenguk kakek ... awalnya," jawab Elisha lirih karena menghadapi situasi yang pertama kali ia rasakan.

Situasi dimana untuk pertama kalinya Erick mencurigai dirinya.

Erick tersenyum miris. "Akhirnya, lo malah bunuh kakek gitu?" tanyanya sinis.

Elisha menengadah. "Lo tau, kak? Nathan waktu itu terlihat begitu lemah." Gadis itu tiba-tiba menyeringai membuat Erick semakin merinding.

Jika benar bahwa Elisha yang membunuh Nathan, Erick sudah tidak tahu lagi bagaimana ia bisa bertindak. Gadis dihadapannya semakin sulit untuk ia tebak.

Elisha yang sempat terjatuh lemas pelan-pelan bangkit berdiri, mensejajarkan dirinya pada Erick yang masih terdiam di tempat.

"Gue benci Nathan? Iya. Gue pengen dia meninggal? Tepat sekali. Gue pengen bunuh dia?" Elisha tersenyum miring lalu berjalan mendekati Erick, ia lalu berbisik, "itu sangat benar."

"Elle?" Suara Erick kembali bergetar. Gadis dihadapannya ini semakin aneh membuat Erick dirundung kegelisahan. Erick sudah seperti tidak mengenal Elisha.

"Gue dan dia memiliki hubungan yang bisa dibilang ... nggak baik, 'kan? Terus, gue punya dendam pribadi dengan dia. Lalu, coba lo pikirkan, apa yang gue lakukan saat melihat musuh gue sedang terbaring tak berdaya?" kata Elisha semakin dalam.

Psikopat! Erick benar-benar tidak mengenal Elisha! Gadis dihadapannya memiliki sisi gelap yang membuat Erick bertanya dalam hati, 'dimana adik kecilnya yang penuh dengan kemurnian?'

"Erick, dia terbaring lemas dihadapan gue. Musuh Nathan pasti nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu!" Bisikan Elisha semakin kencang hingga Erick lemas dengan mata melotot.

Tunggu dulu!

Ada sesuatu yang mengganjal. Erick seketika mengernyitkan dahinya kebingungan.

Musuh Nathan pasti nggak akan menyia-nyiakan kesempatan itu!

Musuh Nathan!? Dilihat dari manapun Elisha dan Nathan tidak memiliki kepentingan hingga mereka harus saling membunuh. Itu tidak menguntungkan Nathan dan untuk pihak Elisha sendiri, Erick tidak ingin memikirkannya.

Erick kembali diserang ketidak nyamanan. Kepalanya terasa berat dan tengkuknya terasa dingin. Lelaki itu lalu menatap Elisha yang sudah berdiri sedikit menjauh dari Erick dengan pandangan malas.

Beauty Psycho (END)Where stories live. Discover now