Bagian Empatpuluh Empat

267 59 2
                                    

Seorang wanita tua dengan kerutan dikulitnya keluar dari mobilnya. Rambutnya masih setia berwarna hitam legam karena diwarnai untuk menutupi beberap helai rambut berwarna putih disana.

Matanya pelan-pelan terbuka, sebelum akhirnya ia berbalik mengambil satu buket bunga mawar berwarna putih dan melangkahkan kakinya masuk kedalam gedung penyimpanan abu.

Wajahnya begitu dingin, tidak seperti tahun-tahun yang lalu. Bahkan bagi orang disekitarnya, Byun Woyeon sudah terlahir kembali dengan sifat yang berbeda.

Kakinya terhenti pada didepan kotak kecil yang dimana isinya terdapat barang-barang kesukaan adiknya yang sengaja ia taruh disana.

"Maaf aku baru sempat datang kesini."

Ia mendunduk dengan senyum kecil, sebelum akhirnya menaruh bunga di tempat yang disediakan.

"Apa kabarmu, Hoyeon?" Cakapnya begitu pelan dan lembut, seakan benar-benar ada adik tersayang dihadapannya. "Apakah kau baik-baik saja? disana indah bukan?"

"Setidaknya kau tidak perlu merasakaan sakit hati lagi"

Sejenak, ia terdiam. Isi kepalanya kini terisi dengan memori antara dirinya dan sang adik. Bagaimana mereka bertengkar, bercanda dan bermain bersama kala itu.

"Maaf, karena aku belum bisa membalaskan dendam kepala Kwan Hoojin yang membuatmu menjadi menyedihkan seperti ini. Tapi, ada kabar baik!"

"Kabar baiknya, aku sudah menemukan keberadaan rumah lelaki Kwan itu. Doakan saja semoga rencanaku besok akan berhasil, karena aku masih tidak rela akan kepergianmu yang membuatku sendiri."

Tangan wanita tua itu menghelus lisan bertuliskan 'Im Hoyeon' dihadapannya. Tersenyum kecil dan sedetik kemudian wajahnya kembali lagi datar.

"Aku tahu, aku tahu kalau kau pasti sedang marah karena aku ingin membalas dendam pada lelaki tersayangmu itu dan tidak ikhlas akan kepergian dirimu. Tapi, hatiku benar-benar tidak rela untuk ini semua."

"Tidak peduli aku akan berakhir dimana, tapi rasa sayangku padamu mengubahnya menjadi jahat. Jadi, biarkan aku melakukan ini semua, aku sayang padamu Hoyeon."

Dan setelah mengatakan itu, Woyeon benar-benar pergi meninggalkan tempat abu Hoyeon disimpan.

Tangannya mengepal hingga membuat kukunya menjadi putih, dengan kaki yang berjalan menuju pintu keluar dari gedung ini, ia berkata.

"Selamat tinggal keluarga Kwan."

• • •

"Sesuai dengan apa yang aku katakan."

Samar-samar Hooshi mendengar suara amarah sang istri. Dirinya yang baru saja ingin masuk kedalam kamar kini mengurungkan niatnya untuk menguping percakapan antara Woyeon dan seseorang di telefon itu.

"Kau bakar rumahnya saja, soal bayaran jangan takut, akan aku kirim ke rekeningmu saat Hoojin dan satu keluarganya lenyap."

Dan setelah mengatakan itu. Woyeon mematikan telepon secara sepihak, menaruh ponsel itu dikantung bajunya dengan bibir yang tersenyum.

Gila.

Iya, memang Im Woyeon gila. Bahkan sang suami, Byun Hooshi sudah menyadarinya.

Ia dihantui oleh bayangan kematian sang adik yang membuatnya menjadi berdarah dingin seperti psikopat.

"Woyeon," Panggil Hooshi masuk kedalam kamar mereka berdua, membuat Woyeon mengalihkan pandangannya pada Hooshi yang memanggil namanya.

"Ya?"

Monodrama ✔️Место, где живут истории. Откройте их для себя