Reizen VIII : part 1

1.7K 82 7
                                    

Aku mengikuti Klav keluar dari bengkelnya menuju pintu belakang. Dari pintu belakang bengkelnya, ada sebuah lapangan kering yang sepertinya tidak pernah dipakai. Lapangan itu penuh dengan kayu – kayu yang sudah patah dan berserakan dimana – mana. Sangat menganggu pemandangan.

Jauh berbeda dari taman air terjun itu. Tentu saja. Sebuah pikiran aneh. Aku masih terdiam di pinggir lapangan, sementara Orc itu sudah kebali ke bengkelnya mengambil senjatanya. Dia kembali tak lama kemudian. Dia membawa kapak super besar yang bahkan lebih besar dari lengan tangannya sendiri. Dari mana kekuatan untuk membawa kapak super besar itu?

“ Tidak usah malu – malu nak! Aku tidak akan menahan diri. Jangan salahkan aku kalau kau mati!” Teriak Orc itu dari seberang lapangan.

Tanpa membuang waktu, aku segera membuka bungkusan kain lusuh yang mmbungkus ke dua pedangku. Menajamkan seluruh inderaku. Kali ini aku ingin memperaktikan ajaran Zurgré untuk tidak menutup mataku saat terjadi duel, menghilangkan auraku, dan hanya menyentuhkan kakiku ketanah seperlunya saja. Aku menggenggam kedua pedangku mantap Orc itu sudah tepat dihadapanku sambil mengacungkan kapak raksasanya tinggi - tinggi.

Aku sudah bersiap menahannya dengan kedua pedangku. Tapi, tenagaku tidak cukup. Tekanannya sangat tinggi. Kalau tidak karena aku membelokkan sedikit posisi pedangku sekitar 30ْ  untuk mengubah titik berat ayunan kapak itu, kedua pedangku pasti sudah patah dan tentu saja sudah membelah tubuhku. Aku melompat kebelakang. Pertandingan baru saja dimulai, dan keringat sudah membanjiri tubuhku. Aku mendongak keatas. Matahari sangat terik hari ini. Menambah deras keringat yang keluar dari tubuhku.

. Kemampuanku sepertinya sudah sedikit menumpul  setelah 3 minggu tidak pernah memegang pedang lagi. Pertandingan baru dimulai, tapi aku sudah kelelahan. Aku tidak akan menyalahkan factor matahari yang memang sangat panas hari ini, tapi memang badanku yang sudah kaku membuatku cepat kelelahan. Aku kembali memfokuskan pikiranku ke Orc itu Tapi, Orc itu hanya memandangku. Dia hanya terdiam memandangku bergantian dengan kapak raksasanya.

Dia sangat berbeda seperti yang digambarkan di buku yang pernah kubaca. Di buku itu tertulis seorang Orc tidak akan pernah membiarkan sebuah kesempatan terbuang percuma saat duel. Mereka juga digambarkan suka berteriak segala macam saat duel untuk memancing lawan mereka. Tapi Orc ini dalam diam dia melancarkan serangannya. Aku memasang kuda – kudaku. Tapi, Orc itu malah mendekat. Dia bukan dalam posisi menyerang, tapi aku tetap memasang kuda – kudaku.

Dia berdiri dengan menjulangnya di hadapanku. Dia menjatuhkan kapak raksasanya, lalu dengan tangan besarnya dia memegang ujung pedangku. Tanpa permisi dariku dia menarik pedang di tangan kiriku dari genggamanku. Dia mengamati pedangku sambil meyipitkan matanya. Lalu, memegang pedangku di gagangnya. Tangannya sedikit terlalu besar untuk gagangnya, tapi dia tetap memegang pedang itu digagangnya.

Sekarang aku tahu bagaimana bingungnya Kítrino saat melihatku menyalakan api unggun pada malam pertama kami bertemu dengannya. Tepat di mataku, Orc itu membuat api menjilat – jilat bilah pedangku. Tapi api itu tidak keluar dari tangannya. Api itu keluar dari bilahnya sendiri. Mata Orc itu terpaku pada bilah pedang. Lalu berganti menatapku dengan tajam.

“ Dari mana kau mendapatkan pedang ini?” Tanya Orc itu sambil mengerutkan dahinya.

“ Aku tidak tahu. Aku hanya tahu kalau kedua pedang ini milikku.” Jelasku sesingkat mungkin dengan nada yang monoton. Akhir – akhir ini aku jadi semakin sering menjelaskan masalah hilang ingatan ini.

“ Pedang ini satu – satunya yang bisa menahan seranganku tadi tanpa patah. Pedang ini pula yang menyelamatkanmu dari patah tulang. Orang biasa tidak akan bisa menahan seranganku tadi. Para tentara Tingkat I yang pulang dari sini paling tidak tangannya patah. Atau bahkan lebih parah. Hanya satu tentara yang tangannya tidak patah setelah menerima seranganku. Walaupun pedangnya juga patah seperti yang lain.”  Orc itu kembali memadamkan api yang tadi menjilat – jilat bilah pedangku. “ Dan aku yakin ini salah satu dari 5 senjata abadi yang terbuat dari besi khusus yang tidak jelas berasal dari mana.” Dia kembali menatapku.

Elemetal ForéaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang