Reizen I : Part 4

2.7K 98 2
                                    

Kedua tanganku sudah teracung siap menikam Polrug ketika beberapa orang datang dan langsung memitingku lagi. Kedua pedangku langsung terjatuh karenanya. Aku diseret menjauh dari Polrug dan aku tidak melawan. Aku tidak tahu aku diseret kemana, sepertinya ke sebuah kamar. Dua orang yang menyeretku, menjatuhkanku di tempat tidur lalu mengunci pintunya. Seakan – akan aku seorang penjahat yang akan mencoba kabur. Ataukah aku memang telah menjadi seperti itu setelah membuat Polrug bersimbah darah begitu? Aku tidak tahu. Aku takut. Aku tidak pernah ingin membuatnya terluka parah seperti itu apalagi kalau sampai membunuhnya.

Aku belum sempat merenung lebih lanjut ketika Shegir masuk ke dalam kamar. Di mataku pemandangan masih merah darah, tapi aku cukup tahu kalau pakaiannya penuh darah. Darah Polrug sepertinya. Aku menghidari bertatapan langsung dengan matanya, tapi dia menarik daguku hingga mata kami sejajar. Anehnya, aku tidak menemukan kebencian atau sedikit pun rasa kesal di mata coklat Hazelnutnya.

“ Apa kau sudah sadar dari mimpimu?”

“ Kenapa kau menyebutku sedang bermimpi?” Tanyaku balik.

“ Karena matamu. Matamu tidak fokus sama sekali ketika menyerangnya. Dan, apa yang kutemukan sekarang? Matamu yang tadi tiba – tiba berwarna merah sudah kembali seperti semula didepan mataku.” Aku tahu dia benar. Karena pemandangan di mataku sudah kembali penuh warna. “ Ah, dan dia tidak mati. Dia hanya pingsan karena luka di dadanya.”

Rasa lega langsung memenuhi pikiranku. Setidaknya aku tidak membunuhnya. Kalau aku membunuhnya sementara ingatanku akan kejadian tadi berkabut, aku pasti akan merasa seperti orang gila yang kehilangan pikirannya sendiri dan membunuh membabi buta.

“ Yah, sepertinya kau sudah sadar sepenuhnya. Ini kalungmu.” Shegir mengeluarkan kalungku dari balik kemejanya yang sudah berlumuran darah dan meletakkanya di tanganku. Aku menatap kalungku dan Shegir bergantian. Pertanyaan – pertanyaan mulai terbentuk di otakku. Kenapa dia memberikan kalungku? Kenapa tadi dia memberikan saran padaku? Kenapa dia tidak terlihat marah atau kesal karena aku sudah melukai temannya? Polrug temannya bukan?

“ Ini pertarungan laki – laki Vanir. Dan di dalam setiap pertarungan, selalu ada kemungkinan kau terbunuh. Kau pasti akan mengerti suatu saat nanti. Nah, seandainya Polrug terbunuh pada pertarungan tadi, aku tidak akan mempermasalahkannya. Karena ini jalan yang dia pilih ketika dia menantangmu. Terlebih dia memancing amarahmu yang jelas akan berakibat buruk dengan kemungkinan besar kau adalah seorang Nadlis.” Shegir menjawab sebagian pertanyaan yang tidak kuungkapkan. “ Tapi, sebagai orang yang bertanggung jawab menjaga keselamatan di desa ini, aku melarangmu untuk terlibat pertarungan apa pun.”

Dahiku berkerut. Aku tahu jelas alasannya kenapa dia melarangku. Karena aku sudah bertarung seperti orang gila yang sangat membahayakan tadi. Tapi, aku tidak suka dilarang bertarung yang notabenenya berarti aku tidak bisa berlatih untuk paling tidak mempertahankan diriku sendiri. “ Lalu, bagaimana caraku bertahan seandainya aku diserang sementara aku tidak diperbolehkan bertarung? Apa aku harus berdiam diri di rumah seperti orang cacat agar tidak ada yang menyerangku? Ini tidak adil!” Geramku setengah berteriak.

“ Kau bisa pergi berburu! Kau bisa bertarung tanpa perlu menghawatirkan apakah lawanmu mati atau tidak.”

Aku terdiam. Berburu? Hal itu tidak pernah terlintas di kepalaku. Alasan pertama adalah aku belum pernah keluar dari pagar desa sejak hari pertama aku terbangun. Kedua, aku tidak tahu cara berburu dan sepertinya tidak ada yang tertarik untuk mengajariku.

“ Aku tidak bisa berburu.” Gumamku dengan suara terlalu pelan. Aku tidak suka terlihat lemah.

“ Marquis pasti akan mengizi-apa?! Kau tidak bisa berburu? Kau sedang tidak bercanda, kan?” Rasa kaget jelas terlihat di wajahnya.

Elemetal ForéaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang