Reizen IX : part 4

1.4K 82 7
                                    

Hari yang menegangkan tapi juga dinantikan akhirnya tiba. Hari ini Duel of Destiny akan dilaksanakan. Antara siap atau tidak duel tetap akan berlangsung. Mau tidak mau aku harus siap. Aku sudah melakukan persiapan selama kurang lebih 2 minggu ini. Aku sudah merasa cukup dengan semua persiapanku. Aku tidak boleh mengecewakan siapapun disini.


Acara dimulai pukul 10.00 dan sekarang pukul 7.00. Aku masih terduduk di tempat tidurku memandang ke empat pedangku. Tentu saja aku akan tetap memakai kedua pedang hitam itu. Hanya saja, sepertinya sudah lama aku tidak menggunakan Aldebaran. Aku mengambil kedua pedang merahku. Melepaskan sarungnya. Menampakkan gradasi warna merah darah dengan aliran warna emas membentuk pola ukiran aneh yang tak kumengerti ditepi bilahnya. Sudah berapa lama aku tidak menggunakan pedang ini? Sejak aku mendapatkan kedua pedang hitam itu? Sudah selama itu kah? Tapi, tetap saja pedang ini masih sama indahnya sejak pertama kali aku mengambilnya dari altar itu.

Aku mengayunkannya. Aku lupa betapa ringannya pedang ini. Sangat berbeda dengan kedua pedang hitamku. Saat mengayunkan Aldebaran, ingatanku melayang saat Klav memegang Aldebaran. Saat itu dia mengatakan kalau Aldebaran menyerap energiku dan dia dengan mudahnya mengubah energiku menjadi api. Apakah aku bisa melakukan hal yang sama? Membuat api menjilat - jilat bilah Aldebaran? Tentu saja aku pasti bisa. Bagaimana pun itu adalah energiku sendiri dan aku Elemetal Foréa api. Sekarang, bagaimana cara membuat apinya keluar?

Oke, coba bayangkan. Api biru yang menjilat - jilat bilah pedangku. Dan api biru itu sekarang terealisasikan di depan mataku. Jadi begini cara memunculkan api? Mengubah energiku sendiri menjadi api. Bukan hal yang sulit. Pasti para Wizard bisa melakukan hal yang sama. Lalu, apa yang membuat Elemetal Foréa berbeda dari para wizard?


Sebuah ketukan membuyarkan pikiranku tadi. Aku segera mematikan api yang menjilat - jilat dibilah Aldebaran. Aku hanya berpikir untuk mematikan api itu dan api itu mati seketika. Setelah apinya mati, aku langsung menyarungkan pedangku dan berjalan menuju pintu untuk membukakan pintu. Lacie berdiri di depan kamarku. Sendirian.

" Vanir! Urg. Kenapa kamu masih telanjang dada seperti itu? Cepat pakai bajumu!" Lacie mendorongku masuk kembali ke kamar.

" Aku kan baru selesai mandi. Lalu, kenapa kau kekamarku?"

" Aku diminta kakak untuk memanggilmu agar bisa bergabung bersama kami untuk sarapan pagi ini. Dan menyerahkan ini." Lacie menyodorkan sebuah tunik berwarna emas yang dilipat rapi.

" Apa ini?" Tanyaku sambil menerima tunik itu.

" Itu tunik sebagai penanda kamu adalah perwakilan keluarga Speranz dalam duel ini. Kamu diharapkan tetap memakai tunik itu selama duel berlangsung dua hari ini." Jelasnya.

Aku merentangkan tunik ini. Tunik ini berwarna emas dengan sulaman kepala naga bewarna coklat tua dibagian dada kiri. Desain tunik ini sama persis dengan desain pakaian kerajaan yang dikenakan Raja Dôrado pada pemakamannya dan jubah yang dikenakan Kítrino waktu itu. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku mengenakan tunik itu. Aku juga mengambil keempat pedangku. Memasangkan kedua pedang hitam disabukku dan memasukan Aldebaran ke segel ditelapak tanganku. Tidak ada yang perlu kubawa lagi kan?

Setelah memastikan tidak ada yang perlu lagi kubawa, aku keluar dari dari kamarku. Mengikuti Lacie menuju ruang makan yang terletak dilantai 2. Saat baru menapaki lantai dua, Lacie berlari kearah seseorang berjubah coklat berambut hitam kebiruan terpotong rapi yang sedang berjalan tenang menuju bagian tengah kastil.

" Paman Elroy!"

Teriak Lacie sambil memeluk pria itu dari belakang. Pria itu menoleh. Ketika menyadari siapa yang memeluknya dari belakang, senyaum pria itu terkembang.

" Halo Lacie." Pria yang disebut Lacie paman Elroy itu mengacak rambut Lacie. " Kau tidak berubah ya. Dari kecil sampai sudah dewasa masih suka memelukku dari belakang. Hahaha."

Elemetal ForéaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang