30

4K 437 22
                                    

"Pa..."

"Gimana? Apa kata dokternya?"

Neira mengedikkan bahu sebagai jawaban.

Harimukti kemudian menganggukkan kepalanya ketika anak bungsunya itu duduk di dekat dirinya. Neira bahkan mulai memeluk dirinya dengan pelan persis seperti anak kecil yang sedang kebingungan dan ketakutan.

"Priscilla sudah Papa urus? Aku gak mau dia balik pas Varrel masih di sini..."

Papanya menganggukkan kepala mengerti, "Sudah. Mamanya sudah tahan-tahan supaya gak balik" lalu pria itu meneliti wajah putrinya dengan tenang, "Soemthing wrong?"

"Wrong banget..." Neira menghela nafas dan menegakkan tubuhnya lalu menatap lurus kepada pria yang sudah memberikan segalanya untuknya, juga anaknya. "Dia lamar aku, Pa"

Harimukti memilih tidak menanggapi putrinya. Dia tahu apapun yang anaknya butuhkan sekarang adalah pendengar yang baik. Bukan sebagai pemberi wejangan super panjang yang akhirnya membuat Neira jengah.

Delapan tahun yang lalu ketika Neira tiba-tiba menangis dalam pelukan istrinya dan mengatakan tidak ingin melanjutkan sekolah, dunia Harimukti serasa bergeser dari porosnya. Pria itu bertanya apakah putrinya ingin mengambil cuti satu tahun atau ingin berlibur karena stres dengan ujian atau bagaimana.

Tapi jawaban anaknya malah membuatnya nyaris murka. Putrinya hamil dan pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah anak lelaki yang ternyata kekasih anak pertamanya. Tentu saja Neira dengan keras kepala mengatakan dia akan menggugurkan anaknya. Tapi Harimukti dan istrinya melarang hal itu dan meyakinkan Neira semua akan baik-baik saja.

Putri pertamanya tidak sengaja mengetahui hal ini karena Neira yang tiba-tiba pindah ke Jogja dan kemudian mengatakan semuanya. Semuanya mengenai kenakalan mereka berdua dan membuat Harimukti benar-benar murka. Dia mengirim anak pertamanya keluar negeri dan tidak mengijinkan anaknya kembali sampai menyadari apa kesalahannya. Prisicilla bahkan ingin mengatakan kepada Varrel kalau Neira mengandung anak pria itu.

Tapi toh Harimukti memang lebih menyayangi putri keduanya dan memutuskan untuk mengancam Priscilla agar tidak membocorkannya. Sampai anak pertamanya benar-benar tidak ingin pulang dan bersikap masa bodoh dengan kehidupan mereka.

Sekarang, setelah semuanya berjalan seperti permintaan Neira, Karan malah ingin bertemu ayahnya. Jelas saja Harimukti yang merupakan salah satu pemegang saham di perusahaan tempat Varrel bekerja memberikan izin tiba-tiba kepada pria itu agar Varrel bisa pulang ke Jakarta dan bertemu Neira.

Kebetulan selain untuk check-up cucunya, Harimukti sebenarnya ingin melihat Neira sedikit saja terbuka mengenai perasaannya. Dia mengerti Neira masih menyukai Varrel dan nyaman dengan pria itu. Tapi Neira terlalu keras kepala mengingat apa yang dilakukan Priscilla dengan Varrel dulu.

"Menurut Papa, apa gak kecepetan ya? Dia?"

"Lamar kamu?" Harimukti terbatuk sebentar kemudian kembali bertanya kepada putrinya, "Gimana caranya dia tanya kamu?"

Neira menghela nafasnya. Dia tidak mungkin menceritakan apa yang Varrel lakukan di malam sebelumnya jadi dia langsung saja kepada intinya, "Kita main tanya jawab, terus tiba-tiba dia tanya..."

"Kamu tolak?"

"Iyalah..." Neira terkekeh sebentar dan kembali merenung di depan Papanya, "Dia tanya aku, tapi gak tanya gimana kehidupan aku. Gak tau apa yang aku lakuin delapan tahun ini, gak tau aku lulusan mana, kerja di mana, apa---"

"And yet he asked you..." Papanya menganggukkan kepala. Mungkin Varrel merasa sudah mampu untuk menghidupi putrinya. Atau Pria muda itu sudah merasa tidak perlu mengenal Neira lebih jauh karena tipe pria seperti Varrel tahu apa yang dia inginkan, apa yang ingin dia capai dan bagaimana menerima keadaan.

Dia tahu background keluarga Varrel sehingga Harimukti bisa mengerti kenap Varrel melakukan hal itu. Mereka sudah mengenal cukup lama. Terpisah delapan tahun mungkin akan sangat berbeda jika salah satu diantara mereka menyiratkan untuk menjaga jarak. Ah, dia mengerti. Sepertinya Varrel tahu kalau Neira masih menyimpan sedikit rasa untuk pria itu.

"Varrel punya rencana hidup yang panjang ya, Ra..."

Neira menganggukkan kepalanya.

"Dia bisa lamar kamu begitu tiba-tiba..."

"Mungkin karena aku anaknya Papa. Papa kan bosnya secara gak langsung di tempet kerja"

Harimukti tertawa dengan pelan. "Istirahat, sana. Karan butuh Mamanya yang kuat. Cucu Papa suka sensitif kalau Mamanya sedih..."

Benar saja, baru beberapa detik mereka bicara. Karan sudah muncul dan memandang Mamanya dengan mata sembab.

Neira langsung menghampiri anak lelaki itu dan memeluknya. Menggendong Karan menuju kamarnya setelah melambaikan tangan pada Papanya.

"Aku takut sendirian, Ma..."

Neira mengusap pipi anaknya dengan lembut lalu menciumi pelan pipi Karan, "Tenang aja, dimana Karan disitu ada Mama kok..."

"Tapi tadi Mama gak ada..."

"Sayang..." Neira memeluk anaknya sebelum dia menidurkan Karan di kasur bawah kamarnya. Menatap bola mata Karan dan kemudian tersenyum, "Mama gak kemana-mana... Mama nemenin Karan... Mama bakalan ada kemana Karan pergi... Ya?"

Karan tidak menjawab kemudian mengerjap pelan beberapa kali sebelum akhirnya terpejam.

Neira menghela nafas. Menepuk-nepuk puncak kepala anaknya dengan pelan kemudian ikut tertidur dengan Karan. Dokter bilang, anaknya sudah harus dirawat kembali beberapa hari lagi.

Hari ini dokter mengatakan berita mengenai Karan dan pria itu melamarnya. Neira hanya bisa memejamkan mata menahan air matanya. Bagaimana dia bisa memikirkan peemintaan Varrel kalau sekarang anaknya yang sedang menjadi prioritas hidupnya?

SSWhere stories live. Discover now