27

3.7K 442 17
                                    

"Karan suka?"

Karan menganggukkan kepalanya dan menampilkan cengiran khasnya kepada Neira juga Varrel yang duduk berhadapan dengan mereka.

Tadi pagi anaknya itu tidak menanyakan apa-apa, mungkin karena terlalu senang mendapati Varrel yang menginap dan mengantarnya ke sekolah. Neira jadi lega saja melihat Karan yang tidak pernah rewel begitu.

"Well, makasih ya Om Varrel..."

Lalu anak laki-laki itu membuat gerakan tangan sederhana dan tersenyum.

"Eh, Rel. Gue mau ke kamar mandi bentar, titipin dong..."

"Ck. Ribet banget jadi cewek gak pernah berubah..."

"Berisik. Nih, Karan sama Om Varrel dulu, ya? Inget-inget jangan nakal sama repotin lho..."

Karan mengacungkan jempolnya sebagai jawaban. Anak laki-laki itu kemudian dengan sigap meminta pindah ke sebelah Varrel.

Neira hanya bisa menghela nafas melihat antusias Karan untuk lebih dekat dengan Varrel. Pria itu bahkan menyambut Karan dan memangku anaknya.

Tidak ingin melihat lebih jauh, Neira memilih meninggalkan Karan juga Varrel yang sudah sibuk dengan mainan plastik bongkar pasang entah apa yang tadi Varrel bawakan untuk Karan.

Memang ya, anak itu tidak akan jauh minatnya dari orang tua mereka. Dan sekarang Varrel sama antusiasnya dengan Karan ketika membuka bungkusan plastik mainan itu.

"Okay. What we got here..." Varrel mengambil satu lembar instruksi di tangannya dan kemudian membaca

Karan sudah sibuk mengambil potongan plastik yang kemudian dia jajarkan di meja makan. Tampaknya itu semua adalah potongan bentu pesawat sederhana yang harus mereka rakit.

Varrel mengambil satu potongan kemudian mulai mengguntinginya sambil bicara kepada Karan. "Kamu anteng banget ya sama Tante kamu..."

Awalnya Karan sempat diam dan tesirat wajah sedihnya. Varrel menganggap itu semua karena dia menyinggung masalah orang tua anak itu yang katanya mengurus adiknya.

Buru-buru Varrel menjelaskan pada akhirnya, "Eh, tapi... Bukan berarti Papa Mama kamu gak sayang kamu lagi loh, cuma sekarang kan ada adek. Mama Papa kamu pasti sayang banget sama kamu, Ran..."

"Papa sama Mama sayang banget sama aku, kan? Aku juga sayang Papa Varrel..."

Euh, kampret ini Neira mana sih lama amat. Gak ngerti gue Karan bilang apaan. "Kamu suka mainannya gak? Bisa main ini gak?"

Karan sibuk kembali. Menjulurkan satu tangannya dan menunjuk ponsel Varrel kemudian. Pria itu hanya mengerjap sebelum akhirnya memberikan Karan ponselnya dan anak itu membuka aplikasi note lalu mengetikkan sesuatu

Varrel menganggukkan kepalanya setelah mendapatkan jawaban. "Ah... Belom pernah main ini? Main sama Om kalo gitu, ya?"

Kembali Karan melakukan hal tadi dan menunjukkannya pada Varrel

Pria itu mengangguk kemudian mencubit gemas pipi Karan. "Gemes banget, sih. Kamu ini lucu banget. Dikasi makan apasih sama Mama kamu? Ngidam apaan anaknya bisa lucu gini?"

Karan hanya nyengir saja. Menggerakkan tangan kecilnya dengan antusias dan tertawa lalu menujuk ke Varrel beberapa kali. "Kan anak Papa, ya lucu dong aku."

Pria itu mengernyitkan keningnya. Tapi kemudian kembali tertawa pelan bahkan tanpa sadar mendaratkan kecupan singkat pada dahi Karan.

Neira yang baru saja dari kamar mandi melihat apa yang Varrel lakukan mendadak diam di tempatnya. Dia melihat Karan mengusap-usap pelan bekas ciuman Varrel sambil tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.

Terlihat sekali kalau anak itu bahagia hanya karena hal kecil yang Varrel lakukan. Dia hanya bisa tersenyum pada akhirnya. Menghampiri kedua orang itu kemudian, "Udah sampe mana ini?"

Karan menatap ibunya dengan antusias lalu kembali menjelaskan dengan bahasanya sendiri, "Papa ajarin guntingin ini jadi kecil-kecil, Ma..."

"Oh... Suka?" Lalu melirik Varrel yang tampak sibuk membaca lembaran instruksi di tangannya, "Katanya baru mulai gunting, Rel. Suka dia katanya. Bisa juga ya sama anak kecil, lo..."

"Bisalah. Enteng. Karannya juga anteng. Lucu banget sih, gemesin pipinya... Eh, besok ikut ke acaranya Kak Fitri kan?"

Neira terdiam. Dia baru ingat kalau dia memiliki hubungan kekeluargaan jauh dengan Varrel hanya karena nama kakak dari pria itu yang disebut. "Oh... Hm. Ya, kali. Kenapa?"

"Ya, gak apa-apa. Kan bisa gue tebengin..."

Suara gemerincing gelang Karan membuat Varrel melirik anak lelaki itu dan Varrel tampak tertawa karena Karan sudah tertawa. Pria itu bahkan tidak mengerti kenapa Karan tertawa, dia kira karena Karan berhasil menggunting bagian yang tadi dia berikan dan akhirnya Varrel mengacak pelan rambut anak laki-laki itu.

Neira melirik sebentar ke arah putranya dan menyadari Karan bahagia karena Varrel akan mengantar mereka besok. "Euh. Karan besok ada terapi, ya, kan?"

"Oh, iya? Terapi apa?"

"Terapi..." eh. Neira melirik Varrel kemudian. Oh, dia harus melakukan ini. Menyeret Varrel untuk memastikan kalau Karan benar-benar anak dirinya dan Varrel. "Tolong anterin deh, dia ada cek alat dengernya besok..."

Varrel menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Santai aja, gue juga gak mau cepet-cepet ke acara Kak Fitri. Rame poll..."

Dan kembali Neira lihat betapa bahagia putranya karena Varrel akan menghabiskan waktu lebih lama dengan mereka. Dia hanya bisa tersenyum miris menatap putranya dan mengisyaratkan agar Karan sedikit tenang.

SSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang