Varrel mengejar perempuan itu tidak peduli kalau mesin mobilnya belum mati dan menyerobot begitu saja ketika Neira hampir memegang pagar rumah kakaknya, "Ayo ngomong..."
"Ngomong apa lagi?" Tanya Neira dengan datar, tidak memperlihatkan sama sekali kalau dia baru saja menolak ajakan menikah Varrel
Pria itu berdecak, tapi beberapa detik kemudian menoleh ke arah rumah dan mendapati suami Fitri menggendong Karan yang sudah menangis
Neira mengikuti pandangan pria itu dan terkejut melihat wajah sembab Karan juga anaknya yang menangis lemah tanpa suara dan memegangi dadanya, "Kenapa?!"
Sadar Neira membentak kakak iparnya, Varrel segera mengambil alih Karan yang sepertinya terkejut lalu memeluk lembut anak laki-laki itu dan menepuk pelang punggung Karan, "Kenapa kak?"
Suami kakaknya itu menatap Neira lebih serius dan menggelengkan kepala, "Ah, habis lari-larian..."
"Ah..." Neira menganggukkan kepalanya mencoba mengerti walaupun sulit sekali rasanya menyembunyikan kepanikkannya
Anaknya sekarang berada dalam gendongan Varrel dan tampak lebih tenang dibanding sebelumnya. "Karan, sini..." panggilnya sambil mencoba mengambil alih Karan
Varrel menggelengkan kepalanya. Dia tahu Karan saat ini tidak ingin didekati siapapun, entah kenapa dia hanya tahu Karan mau begitu. "Bentar aja, Ra. Dia kayaknya gak mau sama siapa-sapa dulu..." lalu pria itu mencoba mengintip wajah anak lelaki dalam gendongannya, "Mana yang sakit?"
Karan menunjuk dadanya dengan lemah lalu mencoba mengatur nafasnya
"Kalo Karan inget nugget yang Om goreng kemarin, enak gak?" Varrel kemudian mengelusi punggung Karan dengan lembut
Anak itu mengangguk lemah
"Bawa masuk lagi..." ucap kakak iparnya dengan tenang dan menoleh kepada Neira, meyakinkan perempuan itu tidak apa-apa kali ini Varrel menggendong anaknya. Pria itu mendekat kepada Neira lalu berbisik pelan, "Ayo, Ra..."
Neira menaikkan satu alisnya kemudian menganggukkan kepalanya, "Bawa masuk sekalian, Rel. Karan udah sering begini..."
Varrel hanya mengikuti instruksi kedua orang itu dan sambil terus menanyakan Karan mengenai makanan yang mereka coba kemarin. Pria itu berjalan memasuki rumah dan menemukan kakaknya memandang khawatir. Tapi dia yakin dia bisa menenangkan Karan dan menuju salah satu sofa untuk membaringkan tubuh Karan
Fitri menatap Neira sambil menelan ludahnya khawatir. Perempuan itu mendekat lalu memegangi lengan Neira yang sepertinya mengeras hanya karena melihat Karan lebih memilih Varrel dibanding dirinya.
"Es krim, vannilla? Sama kayak Om ya sukanya... Enak itu..." suara Varrel mengobrol dengan Karan semakin terdengar karena ketiga orang lain di ruangan itu memilih diam
Fitri menoleh kepada Neira dan menahan lengan Neira ketika perempuan itu berusaha menghampiri Varrel, "Please, Ra..."
Neira menganggukkan kepalanya. Dia berlutut di sebelah sofa dan mengambil tangan kecil Karan, mengukur denyut nadi anaknya, "Om Varrel gak suka es krim, bohong dia..."
Varrel mengernyitkan keningnya, "Lo tau?"
"Tau lah..." Neira melirik sekilas lalu beralih kepada Karan dan tersenyum, "Tapi Tante Nei suka. Karan beli yang banyak ya esnya..."
Pria itu terdiam di tempatnya beberapa saat sambil mengusap telapak tangan Karan dengan ibu jarinya. Neira masih menyukainya tapi kenapa perempuan itu menolaknya masih tidak dia mengerti.
Baiklah dia berpikir sejenak. Mungkin terlalu cepat untuk menanyakan Neira menikah dengannya. Kalau memang Neira ingin dikejar, baiklah dia akan mengejar perempuan itu dan meyakinkannya.
YOU ARE READING
SS
אקראיA Week Challenge. Written inspired by true events (with bunch of editing and twists)