35

8.2K 443 85
                                    

"Hey, man..." Sandy memberikan gelas minum kepada Varrel yang berisi air putih juga beberapa vitamin

Sejak semalam, sejak mengetahui kalau dia memiliki anak lebih tepatnya, dan kehilangan anaknya sekaligus, membuat Varrel agak sulit di dekati.

Laki-laki itu bahkan dengan tegas menyuruh setiap orang yang datang melayat untuk menjaga jarak dari jasad putranya. Mengatakan kalau Karan tidak terlalu suka bertemu dengan orang baru. Karena pada saat dia pertama kali bertemu dengan Karan, anak itu juga menjaga jarak darinya.

Mengatakan kalau Karan memang pendiam karena memiliki kekurangan tidak seperti anak lainnya. Bicara mengenai dirinya yang baru saja mengetahui kalau dia memiliki anak seistimewa Karan.

"Kurang ajar banget, ya?"

Sandy menoleh kepada sahabatnya itu, "Siapa?"

Varrel terkekeh beberapa saat kemudian membelai wajah putranya dengan pelan, "Neira..."

Mereka terdiam. Sandy hanya bisa menganggukkan kepalanya hanya agar Varrel merasa sedikit lebih tenang. Dan itu cukup membantu.

Sahabatnya sudah mulai agak tenang lalu menatapnya, "Gue gak tau lagi, San..." Varrel menghela nafas kasar kemudian menggerakkan tangannya entah membuat apa, "I was this close to my son, tapi gak ada yang kasih tau gue kalo itu anak gue..."

Sandy tidak menanggapi. Dia tahu yang paling Varrel butuhkan sekarang adalah meluapkan kemarahannya. Siapa juga yang tidak marah ketika dia sudah begitu dekat dengan gadis yang diinginkan ternyata ketika melamarnya justru ditolak, dan beberapa minggu setelahnya gadis itu meninggal dunia karena sakit. Belum lagi kenyataan lain mengenai anak kecil yang dekat dengan Varrel ternyata adalah anaknya sendiri. Sandy hanya bisa diam menatap sahabatnya itu.

"Coba aja gue bisa ngelakuin sesuatu buat anak gue sendiri, San..."

Baru saja Sandy akan bersuara, sahabatnya yang lain sudah datang dan menepuk lengan Sandy pelan.

Megan menggelengkan kepalanya kepada Sandy lalu melihat Varrel dengan prihatin kepada pria itu. "Ayo, Rel. Udah mau ke makam ini..."

Varrel menoleh kepada Megan. Dia hendak protes tapi Megan kembali bicara dengan tenang

"Lo udah ngelakuin banyak hal buat anak lo. Lo dapet waktu banyak sama anak lo dan gak ada yang ngehalangin lo sama anak lo kemaren ngabisin waktu berdua. Lo kenal anak lo, lo tau dia suka lego sama kayak lo, lo tau kebiasaannya dia, lo tau dia suka makan apa, dan itu udah cukup buat anak lo supaya lo bisa inget dia..."

Varrel menelan ludahnya.

Sandy kemudian menganggukkan kepala setuju, "Bener. Ada orang yang gak punya kesempatan banyak. Gak usah jauh-jauh. Megan cuma ketemu sehari sama Kael, bahkan Kael selama itu juga gak pernah mau deket-deket bapaknya. Lo harusnya seneng anak lo udah kasih yang terbaik buat bikin kenangan sama lo, Rel..."

"Tapi gue gak tau kalo dia---"

"Tapi dia tau lo bapaknya dan dia tau bapaknya orang baik, Rel. Lo gak tau dia anak lo tapi lo tetep mau deket sama dia bahkan bisa ngadepin kekurangannya..." Sandy menghela nafas kemudian menganggukkan kepalanya, "Lo gak bisa nyalahin diri lo atau keadaan terus-terusan, Rel"

"Karan bangga punya bokap kayak lo, Rel. Gak usah nyesel mulu, lo harus tau kalo nangisin orang yang udah meninggal itu bakalan bikin mereka berat disana..." Megan kembali menjelaskan sambil mengulurkan tangannya, "Lo gak sendirian, Rel. You got us, buddy..."

Varrel menggelengkan kepalanya dan berdiri seketika. Dia sempat mencengkram leher Megan dan dengan marah berkata, "Lo gak tau rasanya posisi gue brengsek!"

Megan tahu dia memang berada di posisi yang berbeda dengan Varrel. Pria itu memutuskan untuk menbasahi bibirnya dengan ujung lidah kemudian melepaskan cengkraman Varrel dari dirinya. "Lo bener. Kita semua gak tau, Rel. Gak tau rasanya jadi, lo. Gak ngerti gimana posisi, lo..."

Sandy menghela nafasnya, mendekati Megan dan kemudian menatap Varrel yang sudah terlihat kacau di depan mereka berdua.

Ariesta datang di saat yang tepat setelah sebelumnya memperhatikan sedari tadi di dekat pintu sambil bersandar. "Iya. Bener. Kita gak tau rasanya jadi, lo. Rel, lo orang paling strong yang pernah gue kenal. Gue tau pasti gak gampang nyembunyiin perasaan lo sendiri selama ini. Lo boleh marah sama kita karena kita bertiga sampe sekarang ternyata masih gagal ngertiin lo. Sorry, Rel. Udah gagal jadi sahabat pengertian buat lo..."

Varrel mengumpat dengan pelan dan kembali menatap satu persatu sahabatnya sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Njing..."

Sandy menepuk pundak Varrel dengan pelan dan kemudian menatap Megan.

Sahabatnya kemudian menganggukkan kepalanya, "Rel, kalo lo emang pengen jadi bapak terbaik buat anak lo. Anter anak lo ke tempat terakhirnya di samping Neira. Lo azanin, lo gendong, ngerti?"

"Gampang banget lo ngomong---"

"Woy, woy, woy..." teriak Ariesta sambil menahan Varrel yang sudah akan menghajar Megan kembali, bersamaan dengan Sandy yang juga menahan Varrel. "Rel! Megan pernah ada di posisi kehilangan anak. Sama! Ngerti?! Gue emang gak tau rasanya dan gue gak mau tau! Tapi lo..." Ariesta menahan nafasnya dan kemudian merubah volume suaranya menjadi lebih tenang, "Lo boleh marah sama kita, Rel. Pukul kita aja, kalo emang lo ngerasa lebih baik..."

Varrel malah mengepalkan tangannya dan meluruh ke lantai. Pria itu menangis dan membuat ketiga sahabatnya menghela nafas.

"Gue tau lo minta ditonjok biar bisa nangis, Rel..." ujar Megan dengan pelan menunduk menatap sahabatnya

"Kenapa lo gak mukulin gue, sih? Sadarin gue, kek. Apa kek..."

Ketiga temannya tidak ada yang menjawab. Mereka hanya berpindah tempat ke depan pintu dan menutupi tubuh Varrel yang sudah bergetar karena menangis. Memberikan waktu kepada Varrel yang sedari tadi sepertinya tidak tahu bagaimana mengungkapkan kehilangannya.







..

..

..

Dah tamat

SSWhere stories live. Discover now