34

4.4K 417 18
                                    

"Oh, Geez Priscilla bisa sekali aja kamu gak bantah apa kata Neira?"

"Gak, bisa. Pah, Varrel harus tau kalo Karan anaknya dan sekarang Karan---"

"Terus kalo dia tau, apa ngerubah kenyataan kalo Karan bakalan bisa sembuh terus normal kayak anak lainnya? Apa Karan bakalan bisa ngomong? Apa Neira bisa hidup lagi kalo Varrel tau Karan anaknya?"

Priscilla dengan kepalanya yang tegak menantang Papanya dengan menjawab, "Enggak. Gak akan ada yang berubah tapi seenggaknya Karan bisa liat Papanya buat saat terakhir. Sama kayak keinginan Neira waktu dia pengen liat Papa terakhir kali. Pah, please..."

Varrel kebingungan, menatap ketiga orang di depannya terus berdebat. Membicarakan kalau Karan itu putranya dan dia harus tahu kalau anak itu adalah anaknya.

Neira membohonginya selama ini. Satu minggu ini begitu pula dengan semua orang disekitarnya. Dadanya merasa sesak seketika. Varrel menahan nafasnya mendengar ucapan perdebatan Papa Neira juga Priscilla dengan Ibunda Neira yang mengatakan tidak akan ada gunanya Varrel mengetahuinya.

Pria itu mengangguk beberapa kali, jadi benar Karan adalah anaknya. Dan dia tidak menyadarinya selama ini.

"Mr. Harimukti, we're sorry" sebuah suara membuat Papa Neira menoleh dan terdiam. "You're grandson did his best..."

Varrel menatap dengan tidak percaya apa yang baru saja dokter ucapkan. Dia beralih menuju pintu ruangan yang sudah terbuka dan dokter menahannya ketika dia ingin masuk.

Papa Neira menghela nafas kemudian bicara kepada dokter tersebut, "He's Karan's father..."

Dokter tersebut mengerti dan kemudian mempersilahkan Varrel untuk masuk ke dalam ruang operasi.

Anaknya terbaring dengan beberapa dokter juga suster mengelilinya. Dada kecil Karan sudah tidak bergerak lagi dan anaknya sudah pucat begitu Varrel mendekat.

"Karan..."

Luluh sudah pertahanannya. Sialan Neira yang sudah berbohong kepadanya. Varrel tidak bisa menerima kenyataan kalau sekarang ternyata anaknya dengan Neira sudah tidak ada di dunia ini lagi. Dia bahkan baru mengetahui Karan adalah anaknya beberapa saat lalu dan sekarang dia kehilangannya.

"Karan katanya mau main mobil sama Papa..."

"Sir..."

"Just give me..." Varrel menaikkan satu tangannya memberi isyarat kepada siapapun yang menegurnya tadi

Dokter kemudian mengerti dan meminta dokter lainnya untuk mundur dan memberikan waktu kepada Varrel yang sudah menangis memeluk putranya.

"Karan Papa minta maaf, ya? Huh? Bangun, ya?"

Varrel meneliti lekuk wajah anaknya. Oh, bodohnya Varrel yang sudah menutup mata selama ini. Tidak menyadari betapa miripnya Karan dengan dirinya. Garis mata, hidung bahkan sudut bibir yang sangat Varrel kenal sebagai miliknya waktu kecil dulu dimiliki oleh Karan.

Tapi anak itu tidak bergerak dan menjadi sedikit kaku dalam pelukkannya. "Bangun, sayang..."

Dokter-dokter yang berada di sekitar Varrel hanya bisa menundukka kepalanya. Mereka menunjukkan duka yang sama dalamnya melihat bagaimana Varrel menatap tubuh kaku anaknya. Sepertinya Pria itu tidak bisa menyembunyikan betapa kehilangannya dirinya sekarang

Varrel menelan ludahnya. Dia tidak boleh kehilangan Karan sekarang. Setelah satu minggu yang dia miliki, dan betapa bodohnya dia tidak menyadari kehadiran Karan. Anak itu satu-satunya yang Neira tinggalkan. Satu-satunya separuh diri Neira yang bisa Varrel lihat, juga sentuh.

"Sayang..." Varrel terisak sekarang. "Cuma kamu yang Mama tinggalin buat Papa, Karan. Jangan biarin Papa sendirian, Karan. Bangun..."

Varrel tidak peduli sekarang darah sudah membasahi kemejanya dan mengeratkan pelukkannya pada tubuh kecil Karan. "Dok, please..."

Salah satu dokter dalam ruangan itu mengangkat kepalanya dan memberikan tatapan ibanya pada Varrel.

"Gue cuma ketemu anak gue satu minggu... Dan gue baru tau dia anak gue. Please, dok..."

"We're sorry for your loss sir..."

Ibunda Neira sudah masuk ke dalam ruangan dan menyeka air matanya. Menepuk pelan bahu Varrel dan kemudian menangis kembali, "Biarin dokter jahit lagi, Rel. Karan udah gak sakit lagi, sekarang..."

"Tan..." Varrel menggelengkan kepalanya, enggan melepaskan putranya yang baru saja dia temui. "Tapi Karan satu-satunya yang Neira tinggalin buat aku..."

"Rel. Karan udah gak sakit lagi, sekarang. Udah, ya? Jangan begini, kasian badan Karan. Yang sabar..."

Varrel kembali menggelengkan kepalanya. "Tapi..."

"Tante tau kamu marah, kamu kecewa dan kamu sedih sekarang, Rel. Tapi Karan udah gak bisa sama kita lagi... Ini operasi dia yang terakhir dan Karan udah gak kuat lagi. Biarin Karan tenang, ya? Tante mohon..."

Walaupun setengah hati, Varrel tahu yang diucapkan ibunda Neira itu benar. Anaknya sudah tidak bisa kembali lagi. Dan mengingat banyaknya operasi yang sudah Karan jalani, pastinya anak laki-lakinya itu sudah tidak perlu merasakan sakit lagi.

Pria itu memilih melepaskan pelukannya dan membelai wajah putranya kemudian. Memberikan kecupan lembut yang cukup lama sambil menahan isakkannya, "Maafin Papa, Karan..."

SSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang