AfterEnding

9K 668 144
                                    

"Bangun! Rel! Ntar telat, lo! Varrel!"

Bugh!

"Adooooohhhhhhhhhhhhhh!!!!!" Varrel meringis sejadi-jadinya. Lengannya perih dan pedih di saat bersamaan. Membuat matanya terbuka lebar dan segera bangun untuk melihat lengannya.

Nafasnya langsung berhenti seketika, melihat Neira yang sudah rapi di depannya dengan seragam sekolah dan nenatap marah kepadanya. "Gila ya, lo. Udah jam berapa ini?! Telat lagi. Nanti lo malah kelayapan naik motor terus gak masuk sekolah buat ngindar dari gue..."

Plak! "Aw..." cowok itu meringis dan kembali menatap Neira di depannya. Setelah berhasil menampar pipinya sendiri dan merasa kesakitan tentu saja. "Lo di sini?"

"Menurut, lo?" Gadis itu berdecak sebal dan melipat kedua tangannya sambil menatap Varrel.

Varrel menghela nafas lega memegangi dadanya. Pandangannya sudah mulai mengabur dan membuat Varrel menghapus air matanya lalu melihat Neira kembali. "Gue gak mimpi, kan?"

"Lo..." Neira melangkah mundur ketika cowok itu berdiri dan menghampiri dirinya. Gadis remaja itu bahkan mengerut dalam pelukkan Varrel yang begitu tiba-tiba dan juga sangat erat, "Lo kenapa, sih?"

"Ra, maafin gue..."

"Ck. Apaan sih?" Neira melepaskan paksa dirinya hanya saja, cowok itu kembali menariknya dan memeluknya begitu erat. Sekilas tadi dia melihat Varrel menangis.

Menangis, ya? Bukan Varrel banget. Mengingat betapa kasarnya dan to the pointnya Varrel kalau bicara. Dan juga cowok ini lebih sering tampil nakal dibanding mellow seperti ini.

"Rel?" Neira memberanikan diri bertanya kembali karena risih. "Lo kenapa, sih?"

"Mimpi gue jelek banget, Ra. Dan semoga itu beneran mimpi..." Lalu Varrel melepaskan Neira dan duduk di tepi tempat tidurnya, menarik perempuan itu untuk ikut bersamanya

Neira mengerjap, "Mimpi apaan? Lo mati?"

Varrel menaikkan satu sudut bibirnya, "Gue aja yang hidup. Lo gak bakalan kuat nahan sakitnya, sumpah sakit banget, Ra..."

Neira melongo, "Lo habis ulang tahun tambah bego, ya? Rel, lo semalem gak makan apa minum aneh-aneh, kan?"

"Jadi beneran semalem gue habis ulang taun?" Varrel langsung meneliti sekitarnya, melihat kamarnya yang familiar. Melihat Neira di depannya yang mengerutkan kening dengan tidak sabar menghentak-hentakkan kakinya. "Kak Fitri belom nikah, ya?"

"Dih!" Neira menggeleng-gelengkan kepalanya. "Orangnya aja lagi kuliah, Rel. Lo gimana, sih? Lo kenapa, sih?"

Varrel menatap Neira kembali. Semalam hanya mimpi. Hanya mimpi. Semoga yang kemarin dia alami itu benar-benar hanya mimpi dan yang saat ini dia rasakan adalah hal nyata. "Gue mimpi, Ra. Lo ninggalin gue gitu aja..."

"Well, that depends on---"

"Mati maksud gue..." Varrel menghela nafas kemudian. Terlihat sekali Neira shock dan menganga menatapnya. Dia hanya bisa tersenyum karenanya.

"Lo aja yang mati, kampret. Kenapa jadi gue? Lo dendam banget sih Rel ama gue..." Gadis itu kemudian memberengut dan menatap Varrel tidak terima. Yang benar saja. Sumpah hatinya sedikit nyeri menyadari ucapan Varrel mengenai mimpi cowok itu yang di dalamnya dia malah meninggal. Jahat banget.

Varrel menelan ludah. "Sumpah, Ra. Lo aja yang mati duluan. Kalo lo sayang sama gue, suka sama gue, lo gak bakalan kuat nahan rasanya kehilangan ama sakitnya itu kayak gimana. Sakit banget, Ra. Ditinggalin kayak gitu..."

Neira terdiam. Apa tadi kata Varrel? "Emang lo tau rasanya?"

"Gak usah bego, deh..." Varrel mendengus dan kemudian menyandarkan tubuhnya pada bedheadboard kasurnya. "Biarin cuma gue yang sakit gitu..."

Ada rasa aneh yang Neira rasakan ketika menyadari maksud ucapan Varrel tadi. Secara tidak langsung berarti Varrel sudah mengatakan kalau cowok itu menyayangi dan menyukainya, kan? "Rel, lo..."

"Maafin gue, Ra..." cowok itu menunduk dan menghela nafas. "Gue bakal jelasin nanti, semuanya. Semuanya. Tapi sekarang lo jawab dulu pertanyaan gue..."

"Apaan?" Tanya Neira dengan tidak yakin. Dadanya menjadi berdegub tidak karuan mendengar ucapan Varrel. Apa ini, apa?

"Gue boleh kan, jadi pacar lo, Ra?" Demi Tuhan dan beserta isinya. Ngomong begini ke Neira itu sangat susah untuk Varrel.

Karena mimpinya itu bisa saja terjadi. Varrel harus memastikan dulu Neira menjadi miliknya sebelum gadis itu mendengar semua penjelasannya mengenai Priscilla juga Aaron.

Kalau mimpinya saja bisa sesakit itu, Varrel tidak mau repot-repot membayangkan mimpinya itu menjadi kenyataan dan alurnya sama persis begitu. Cukup mimpi, sekarang jangan. Dia mau bertaubat dulu. Karena biasanya, mimpi yang dialami Varrel menjadi kenyataan. Maka dia harus mulai merubahnya sedikit demi sedikit.

Neira tidak boleh meninggalkannya. Varrel akan memastikan itu mulai dari sekarang. Dan kalaupun Neira memang akan meninggalkannya, sama dengan anak mereka. Setidaknya Varrel sudah berusaha membagi waktunya.

Sedangkan gadis di depannya, malah membeku. Jelas saja. Neira tidak menyangka Varrel mengatakan hal itu.

"Iya, aja. Gue tau lo suka sama gue..."

Neira menggertakkan giginya dengan kesal. Membuat cowok di depannya terkekeh pelan lalu menariknya lagi. "Lo tuh belom mandi maen peluk aja"

"Mbak pacar suka galak"

"Belom diiyain..."

"Gak usah di iyain, tuh jantung lo udah deg-degan. Bego. Lo mah, kebaca banget..." Varrel menikmati bagaimana Neira malah bersandar kepadanya kemudian, "Lo gak apa-apa kan ya sama gue? Gue kan miskin, Ra..."

"Miskin, ya?" Sindir Neira dengan kesal

Varrel malah memainkan rambut gadis itu dan kemudian tertawa, "Lo tajir, soalnya. Habis ini kita ke dokter, Ra..."

"Ngapain?!"

"Cek kali aja ada isinya..."

Neira langsung terduduk karenanya. "Hah? Isi? Maksud lo? Gue?"

Varrel menganggukkan kepala. Sumpah, Varrel akan memastikan semuanya. Kalau benar gadis di depannya ini hamil, akan dia lakukan apapun agar Karan bisa lahir kedunia dengan selamat. Dan semua orang bisa mendengar suara anaknya.

Gadis itu malah sudah mulai mengomel kembali dan seketika kembali marah ketika menyadari kalau mereka sudah terlalu terlambat untuk ke sekolah.

Sebentar. Sepertinya ada lagi hal yang perlu dia perbaiki. Megan, ya? Megan. Hm. Melihat ke dalam mimpinya, sahabatnya itu sepertinya cukup bahagia. Jadi lebih baik dibiarkan saja.

"Gue ke Bali beberapa minggu lagi" katanya dengan tiba-tiba sambil menarik Neira lagi, "Abis kita pastiin kalo lo positif atau gak..."

"Lo kok gila sih, Rel?" Neira memijit keningnya. Menarik nafas dengan dalam dan juga bergerak tidak karuan karena Varrel masih saja mencoba memegangi lengannya

"Sumpah, lo gak bakal nyesel setelah dari rumah sakit..."

"Terus kita ke Bali ngapain?"

"Gue aja, lo gak usah. Di rumah aja, jangan capek..."

"Dih. Ampas..."

"Tenang aja, gue gak jelalatan. Cuma..." Varrel melirik ke arah ponselnya dan sudah tertera nama Megan yang menelponnya, "Ngelakuin sesuatu doang" katanya sambil menaikkan satu sudut bibirnya.

SSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang